Thejatim.com – Jadi sebaik-baik manusia adalah orang yang ikhlas, sebab mereka mensucikan Allah SWT dari apa yang telah disifatkan oleh mereka kepada-Nya. Orang yang ikhlas adalah mereka yang menyifati Allah dengan sifat yang benar. Dalam kitab Tafsir Jalalain dijelaskan:
لَكِنْ عِبَادَ اللهِ الْمُخْلَصِيْنَ الَّذِيْنَ نَحْنُ مِنْ جُمْلِتِهِمْ بُرَاءَ مِنْ ذَلِكَ الْوَصْفِ
“Tapi mereka termasuk hamba-hamba Allah yang ikhlas, yang kita adalah bagian darinya, mereka pasti menyifati Allah secara benar.”
Itulah pedenya orang dulu. Mukhlashin itu orang yang bagaimana? Kita ini termasuk orang mukhlashin, yakni yang menyifati Allah sesuai yang diajarkan Allah dan Rasulullah. Pokoknya saya minta mengajilah kepada para ulama, sebab orang kalau tidak alim kadang keliru menyifati Allah.
Ada orang-orang saleh yang menyifati Allah begini, “Allah pasti menyiksa orang maksiat!” Kok bisa bilang pasti? Lha, wong kehendak Allah kok kamu yang memastikan?
Misalkan kamu jadi orang tua yang punya 3 anak, dan ada 1 yang nakal. Lalu ada tetanggamu yang bilang, “Pak, anakmu yang nakal harus kamu siksa!” Kira-kira kamu mau menyiksa atau tidak? Pasti kamu tidak mau. Karena walaupun anakmu nakal, kamu masih punya rasa kasih sayang. Dan Allah itu lebih kasihan pada hamba-Nya daripada orang tua kepada anaknya. Ini sudah jelas ada haditsnya, shahih.
اَللهُ اَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنَ الْوَالِدَةِ بِوَلَدِهَا
“Sungguh Allah lebih sayang kepada para hamba-Nya melebihi kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya.”
Kamu punya 3 anak, yang 2 saleh dan yang 1 nakal. Lalu ada tetanggamu (orang lain) berkata, “Pak, pukul saja anaknya, nakal begitu!” Kamu berkenan apa tidak? Begitu juga kalau dengan orang yang fasik (pelaku maksiat).
Lha wong tiap hari mengaji surat Ar-Rahman (Allah Dzat Yang Maha Penyayang), kok memaknai bahwa Allah pasti menyiksa, itu kan berarti memaknai Ar-Rahman dengan “Dzat yang Penyiksa”. Pasti banyak orang yang komentar kalau memaknai Ar-Rahman dengan “Dzat yang penyiksa”, daripada kamu maknai dengan “Dzat yang penyayang tapi menyiksa”?
Kata para ulama terdahulu: Kalau kamu benci maksiat, lihatlah dari sisi perbuatan maksiat tersebut. Itu yang kita benci. Kita tidak perlu membenci orang yang fasik (pelaku maksiat), karena ia tetap punya peluang untuk taubat. Tapi yang kamu harus benci adalah perilaku maksiatnya.
Seperti saya melihat orang tidak shalat, saya marah, “Orang kok tidak mau sujud menyembah Allah?’ Saya mungkin kesal, tapi tidak usah memvonis pasti ahli neraka, keadaan seperti itu mungkin tidak akan terjadi lamanya, bisa saja suatu saat ia mau shalat.
Terus ada yang bertanya, “Bagaimana cara mengelola antara marah dan suka, Gus?” Saya jawab, “Ngaji dulu, nanti juga bisa mengelola antara marah dan suka.”
Seperti kamu dengan istrimu, biasanya sering bertengkar tapi kok anaknya banyak? Itu karena bisa mengelola, kapan bertengkar dan kapan bercengkrama. Kira-kira seperti itu, agak susah menjelaskannya.
*) Disadur dari pengajian KH Bahauddin Nursalim atau Gus Baha.