TheJatim.com – Euforia perayaan HUT ke-80 Kemerdekaan RI, Minggu (17/8/2025), menggema di setiap sudut Surabaya. Dari pusat kota hingga pelosok kampung, bendera merah putih berkibar gagah, lagu perjuangan berkumandang, dan semangat warga begitu terasa. Namun, di balik gegap gempita itu, masih ada warga yang belum benar-benar merdeka. Bukan dari penjajah, melainkan dari jerat kemiskinan.
Ironi itu ditemukan langsung oleh Anggota Komisi D DPRD Kota Surabaya, Imam Syafi’i, saat menghadiri upacara Detik-Detik Proklamasi sekaligus meninjau lapangan. Di RT 2 RW 9 Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegalsari, ia mendapati dua keluarga miskin yang sejak awal 2024 tidak lagi menerima bantuan sosial.
“Dulu mereka menerima permakanan sehari sekali, tapi sekarang sudah tidak ada. Bantuan uang tunai Rp200 ribu per bulan yang dijanjikan juga tidak pernah mereka terima,” ungkap Agung, Ketua RT setempat yang juga seorang jurnalis.
Salah satu warga adalah perempuan lansia berusia 60 tahun penyandang disabilitas tuna wicara. Seorang lainnya, juga lansia, hidup dengan gangguan pendengaran dan kondisi rumah yang jauh dari layak. Mereka sempat bergantung pada bantuan pemerintah, namun kini justru tercecer dari daftar penerima.
Data dan Realita yang Tak Sejalan
Menurut Dinas Sosial, jumlah keluarga miskin di Surabaya kini tinggal sekitar 76 ribu kepala keluarga (KK), bahkan diklaim sudah nol warga miskin ekstrem. Namun Imam menilai data itu tidak sejalan dengan kenyataan.
“Banyak warga masih mengadu soal kesulitan biaya sekolah, menebus ijazah, hingga mencari pekerjaan setelah di-PHK. Ada ribuan KK yang justru dicoret karena dianggap tidak tinggal di alamat saat verifikasi, padahal mereka nyata-nyata miskin,” tegas mantan wartawan itu.
Imam mencatat ada puluhan ribu jiwa yang sebelumnya berstatus keluarga miskin dan rumahnya masih tertempel stiker merah, tapi kini hilang dari data. Akibatnya, mereka tidak lagi berhak menerima bansos.
“Kita merdeka dari angka statistik kemiskinan, tapi tidak merdeka dari kenyataan hidup yang sulit. Jangan jadikan data di atas kertas sebagai satu-satunya acuan. Bansos harus tepat sasaran, terutama bagi lansia dan penyandang disabilitas,” ujarnya.
Suara RT: Bingung Antara Merdeka atau Belum Merdeka
Ketua RT 02 RW 07, Hari Agung, mengaku bingung dengan pencoretan warganya dari daftar penerima bansos. Menurutnya, kondisi riil warga jelas menunjukkan kemiskinan.
“Kami di RT tahu persis keadaan mereka. Ada yang tidur di dapur beralaskan tikar tipis, berhadapan dengan tikus setiap malam. Bagaimana mungkin itu disebut sejahtera?” katanya dengan nada heran.
Hari Agung mengapresiasi langkah Imam Syafi’i yang mau turun langsung ke kampung-kampung, menyapa warga miskin, dan mendengar keluh kesah mereka. Ia berharap evaluasi sistem data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) benar-benar dilakukan agar warga miskin tidak lagi tercecer.
“Jangan sampai yang miskin malah dicoret, sementara yang mampu justru masih menerima bantuan,” ujarnya.
Kemerdekaan yang Masih Tertunda
Di tengah riuh pesta kemerdekaan, kisah warga miskin di Tegalsari menjadi pengingat bahwa perjuangan bangsa belum selesai. Merdeka dari penjajah memang sudah sejak 80 tahun lalu, tetapi merdeka dari kemiskinan masih menjadi PR besar.