TheJatim.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menyoroti penggunaan gas air mata dalam penanganan aksi unjuk rasa di Jawa Timur. Menurut mereka, tindakan aparat kerap tidak sesuai dengan aturan yang tercantum dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penindakan Huru Hara.
Direktur LBH Surabaya, Habibus Shalihin, menjelaskan bahwa penggunaan kekuatan oleh polisi harus dilakukan secara terukur dan terarah. Dalam Perkap, penindakan huru hara baru bisa dilakukan ketika situasi meningkat dari kuning menjadi merah, salah satunya saat unjuk rasa tidak lagi berlangsung damai, mengganggu aktivitas masyarakat, atau massa melakukan pelemparan hingga menimbulkan korban luka.
“Perkap sudah jelas mengatur larangan bagi polisi, termasuk tidak boleh terpancing emosi, tidak melakukan kekerasan, serta wajib bertindak untuk melindungi dan mengayomi masyarakat. Sangat disayangkan jika aparat justru buru-buru menembakkan gas air mata, padahal Jawa Timur sudah banyak belajar dari tragedi Kanjuruhan maupun kasus suporter di Gresik,” kata Habibus.
Sementara itu, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye LBH Surabaya, M. Ramli Himawan, menekankan pentingnya transparansi aparat terkait penggunaan gas air mata. Menurutnya, publik berhak tahu alasan, urgensi, hingga jumlah tembakan yang dilepaskan.
Menurutnya, LBH Surabaya dengan tegas meminta pertanggungjawaban hukum oleh aparat, bukan soal berapa banyak orang ditangkap, melainkan bagaimana kewenangan digunakan sesuai aturan. Ramli berharap evaluasi total dilakukan agar tindakan represif tidak lagi menjadi pola dalam menangani aksi di Jawa Timur.
“Polisi wajib menjelaskan kepada masyarakat, kenapa gas air mata digunakan, apakah benar ada ancaman serius, dan mengapa ditembakkan langsung ke demonstran. Itu bagian dari akuntabilitas kepolisian yang harus dijawab Kapolres maupun Kapolda,” tegasnya.