TheJatim.com – Kasus pungutan liar (pungli) di Kelurahan Kebraon, Surabaya, mendapat sorotan tajam dari DPRD Kota Surabaya. Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, meminta Pemerintah Kota (Pemkot) tidak hanya memberi maaf, tetapi juga menjatuhkan sanksi tegas kepada oknum pegawai yang terlibat.
Menurut politisi Gerindra yang akrab disapa Cak Yebe, praktik pungli ini jelas mencoreng citra pelayanan publik di tingkat kelurahan.
“Ngisin-ngisini (memalukan) nek sampai ada pegawai kelurahan main pungli, itu harus dibersihkan,” tegasnya, Senin (8/9/2025).
Cak Yebe mengapresiasi langkah Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, yang sempat memberikan maaf kepada oknum tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa pemkot tetap wajib menjatuhkan hukuman nyata agar ada efek jera bagi seluruh aparatur sipil negara (ASN) maupun pegawai non-ASN.
“Saya setuju dengan wali kota yang berbesar hati memaafkan, tetapi hukumannya jangan hilang. Harus ada sanksi tegas supaya jadi pelajaran,” ujar Wakil Ketua DPC Gerindra Surabaya itu.
Menurutnya, bentuk sanksi perlu disesuaikan dengan status kepegawaian. Untuk ASN, demosi dan mutasi harus benar-benar dijalankan, bukan sekadar dipindah ke posisi serupa. Sedangkan bagi pegawai honorer, peringatan keras wajib diberikan dan bila mengulangi harus dipecat.
“ASN atau pegawai pemkot harus profesional melayani masyarakat, jangan mencampuradukkan urusan pribadi dengan tugas publik,” tegasnya.
Cak Yebe juga meminta Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Rakyat (Bapemkesra) memperkuat pemahaman disiplin pegawai melalui sosialisasi PP 53 Tahun 2010. Menurutnya, banyak pegawai yang belum benar-benar memahami konsekuensi pelanggaran.
“Saya minta Bapemkesra lakukan resosialisasi aturan disiplin supaya pegawai di kelurahan, kecamatan, hingga OPD lebih sadar tupoksi mereka dan paham risikonya jika melanggar,” jelasnya.
Selain itu, mekanisme pengurusan administrasi kependudukan juga perlu dievaluasi. Menurutnya, jika surat pengantar RT, RW, dan kelurahan justru menjadi celah pungli, lebih baik masyarakat langsung mengurus ke dinas terkait atau Mal Pelayanan Publik (MPP).
“Kalau modelnya seperti ini, lebih baik dipangkas. Tidak perlu ada surat pengantar dari RT, RW, atau kelurahan, supaya tidak jadi ajang pungli,” pungkasnya.