Kamis, 9 Oktober 2025
Image Slider

HUMAS

Antara Tukang Sepuh dan Penjaga Wajah Lembaga

*Oleh: Mahbub Djunaidi, 6 November 1988.

TheJatim.com – HUMAS atau kerennya public relation adalah mata pencarian juga, seperti halnya juru penerang atau makelar. la bertugas, menjelaskan sesuatu yang gelap, atau menggosok barang yang gurem supaya cemerlang. Atau membagus-baguskan sesuatu yang sebetulnya kurang bagus atau membela atasan sekena-kenanya. Ia sebetulnya tak ubahnya dengan tukang sepuh yang kita jumpai di lorong-lorong. Ini berlaku untuk humas di pasar sayur atau humas di lembaga pendidikan dan pengajaran.

Jika seorang wartawan lulusan ilmu komunikasi kurang kritis, kurang punya keberanian demokratis, kurang tanggap dan kurang siap terima risiko, dianjurkan supaya jadi humas saja dan duduk di belakang meja hingga saat pensiun tiba.

Sebaliknya, para humas tidak perlu masgul jika releasenya kurang dapat tempat di pernerbitan pers, karena wartawam dituntut untuk memburunya sendiri, untuk mencek, untuk selidik ulang dan untuk meragukan apa yang disodorkan. Seorang wartawan yang senantiasa bergantung pada realese sudah dapat dipastikan bukan wartawan yang baik dan boleh jadi bukan wartawan sama sekali.

Baca Juga:  BETAWI

SEMINGGU sekali, di salah satu ruang di Gedung Putih, Washington, diadakan konperensi pers. Banyak wartawan yang biasa meliput Gedung Putih datang berhadir dan duduk seenaknya seakan duduk di bar. Kebetulan saya ada di situ dan masuklah seorang humas presiden menenteng map. Maka sang humas pun membacakan apa saja langkah presiden, politik apa yang dilakukannya di Amerika Latin, kebijakan apa yang diambilnya di Timur Tengah, langkah apa dalam hal perlucutan senjata dan keputusan apa yang dilakukannya di sek tor pajak dan exim negeri. Sesudah lelah bicara panjang, jubir pun mempersilahkan hadirin bertanya apa-apa yang diangzap kurang jelas dan kurang lengkap.

Baca Juga:  KOLUMNIS

Pihak wartawan bengong saja, menengok ke kiri, kanan dan bahkan menguap. Sesudah hening beberapa saat, sang huma bertanya lagi apa ada pertanyaan. Boleh jadi karena merasa tidak enak hati tidak ada yang menyambut, maka seorang wartawan di bangku belakang mengacungkan tangan.

“Ya, ada pertanyaan apa” kata humas.

“Apa binimu baik-baik di rumah, John” tanya wartawan.

“Oh, baik. Alhamdulillah.” jawab humas.

Maka pertemuan pun bubar. Wartawan akan menulis apa yang sudah diketahui lewat pencariannya sendiri sedangkan apa yang dijelaskan humas tak lebih sekadar bahan perbandingan belaka.

PM ZHOU En Lai bertemu muka dengan pelbagai wartawan asing di Beijing tahun 60-an. Beberapa wartawan Indonesia turut hadir. Dalam bahasa Cina yang jernih ia menjelaskan sikap Tiongkok terhadap masalah-masalah dunia saat itu. Seorang humas yang bertindak sebagai penerjemah menyalin ke dalam bahasa Inggris dan Indonesia.

Baca Juga:  DIKBUD

Zaman sekarang, kata PM Zhou, kita dihinggapi tiga “takhayul dunia”. Pertama adalah cuma takhayul jika orang takut sama Amerika Serikat, karena Tiongkok sama sekali tidak takut. Kedua, adalah cuma takhayul Moskwa bisa mempengaruhi semua orang, karena Tiongkok tidak bisa dipengaruhi begitu saja. Ketiga, adalah cuma takhayul menganggap PBB begitu penting. Buktinya. Tiongkok berada di luarnya dan Indonesia terbukti berani menanggalkan keanggotaannya.

Karena di antara hadirin ada wartawan berbahasa Perancis, mereka meminta kejelasan. Maka humas penerjemah bertanya kepada PM Zhou yang diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis. Karena dianggap kurang pas, Perdana Menteri langsung mengambil alih dan menjelaskan langsung dalam bahasa Perancis karena ia kebetulan lulusan Sorbonne. Humas itu melongo saja.

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Populer

BETAWI

BETAWI

KOLUMNIS

DIKBUD

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Terbaru
ADVERTISEMENT