*Oleh Mahbub Djunaidi, 19 Juni 1988
TheJatim.com – SEBELUM pulang kembali ke negerinya, seorang tamu asing biasa menyiram kepala kita dengan pujian: Indonesia sungguh bangsa yang ramah tamah, demokratis, dan amat rajin bekerja. Sebagaimana layaknya pujian, sanjungan itu membesarkan lubang hidung kita.
Tapi, Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara dalam diskusi yang diprakarsai koran Pikiran Rakyat Bandung bulan lalu tidak menelan begitu saja. Buktinya, ia masih menginginkan bangsa ini kerja keras agar bisa hidup layak. Masih mendengung-dengungkan perlunya ada “etos kerja”, supaya kerja itu dianggap kudus dan bermalas-malasan itu suatu sikap durhaka.
Apakah anjuran ini tepat mengingat bukannya mereka tidak mau kerja melainkan karena lapangan kerjanya yang tidak ada? Bagaimana menampung angkatan kerja yang jumlahnya sekitar 80 juta, padahal lowongan tidak sebanyak itu? Bukankah menggelikan jika kita berceloteh tentang perlunya “etos kerja” di tengah jutaan penganggur? Bukankah anjuran itu akan mengherankan para setengah penganggur yang jumlahnya sekitar 25 juta orang? Bagaimana kita mesti menanamkan “etos kerja” jika mencari kerja lebih susah dari mencari mutiara di lautan? Bagaimana kita menganjurkan orang berwiraswasta jika lubang-lubang kesempatan habis dikangangi paha cukong-cukong raksasa yang bertaring dan bermata menyala?
SEBAGAI bekas pemimpin demonstran. Cosmos Batubara tidak surut. la tetap menganjurkan agar generasi muda bekerja keras, perangi kemalasan dan keengganan kerja, Jangan jadi benalu yang memberatkan orang lain, karena benalu itu kejahatan sosial. Asal saja angkatan muda tidak malas, toh pemerintah akan senantiasa konsekuen atas pasal 27 UUD ayat 2 yang mengakui hak setiap orang memperoleh pekerjaan dalam rangka melaksanakan pembangunan.
Dan sebagai bekas pemimpin demonstran, Cosmas Batubara tahu persis apa akibat rasa kecewa jika timbul di pikiran generasi muda. Makanya supaya mereka tidak kecewa, kesempatan menikmati hak itu mesti tersedia, dan dengan hak di kantong itulah mereka akan bekerja, bekerja keras sekali. Begitu kerasnya schingga menjadi “bukan seperti manusia dan binatang buas minggu semua”, seperti kata llya Ehrenburg ketika melukiskan suasana pembangunan Rusia tingkat pertama.
Dan karena tiap pemimpin demonstran dengan sendirinya seorang kritis dan realitis ia pun maklum betapa beratnya keadaan ini. Bukan saja “etos kerja” yang mesti ditumbuhkan, melainkan juga kualitas manusianya.
Orang toh tidak bisa kenyang dengan semangat melulu. Padahal, dari sekitar 80 persen angkatan kerja, tingkat pendidikannya tak lebih dari sekolah dasar dan cuma satu persen sarjana atau sarjana muda. Apa yang bisa diharapkan dari 1 persen itu sementara perguruan tinggi negeri tidak tambah-tambah dan jumlah perguruan tinggi swasta malahan dibatasi?
Sebagaimana juga anggota Zengakuren yang militan di jalanan tapi menjadi kalem di kursi birokrat Jepang, begitu pula halnya pada Cosmas Batubara. Ia tak lain mengharapkan agar generasi muda mengembangkan kewirausahaan supaya dapat menciptakan kesempatan kerja bukan saja buat dirinya sendiri melainkan juga untuk orang lain.
BAIKLAH “etos kerja” kata saya dalam diskusi di Bandung itu. Ini hanya bisa tercapai jika ditanamkan sejak dini, sejak sekolah dasar bahkan taman kanak-kanak. Misalnya, lewat lagu-lagu, lewat dongeng-dongeng, lewat pepatah-petitih.
Kalau di zaman Jepang ada lagu-lagu Bekerja, Menanam Jagung, Ke Laut, kenapa zaman sekarang lagu anak-anak cuma mendendangkan Pelangi dan Hujan Rintik-rintik yang tidak mendorong sedikit pun suasana kerja dan berajin-rajin? Kenapa tidak dikerahkan. komponis-komponis menggubah lagu-lagu dengan semangat kerja?
Begitu juga lewat pepatah-petitih. Bukanlah banyak pepatah yang sudah tidak cocok dengan kebutuhan iklim sekarang? Kalau kita menghendaki generasi muda jadi gesit dan sigap, kenapa pepatah seperti alon-alon asal kelakon masih saja kita dengar? Bukankah pepatah macam itu justru bertentangan dengan semangat gesit dan sigap?
Begitu juga ihwal dongeng-dongeng. Bukankah dongeng anak-anak seperti cerita Si Kabayan bukan mendorong sikap terampil dan kerja keras melainkan gaya licik dan malas? Kenapa tidak diciptakan dongeng anak-anak yang konstruktif dan sesuai dengan tuntutan zaman yang diinginkan Cosmos Batubara?



