*Oleh Mahbub Djunaidi, 7 Agustus 1988
TheJatim.com – JIKA pemerintah sukak bikin susah, jika masalah gampang dibikin jadi ruwet, jika jalan lempeng berganti dengan jalan berbelat-belit, maka hal ini disebut “involusi”, perbuatan bikin susah orang dan merasa lega jika orang lain tersandung-sandung dan jadi sengsara. Kenapa dan apa perlunya KTP diganti dua tahun sekali? Kenapa seragam anak sekolah mesti ganti baru tiap tahun ajaran? Kenapa penduduk disiksa dengan isian rupa-rupa formulir? Kenapa untuk membuat KTP rakyat mesti digiring secara massal berfoto bersama dan tidak boleh berfoto sendiri-sendiri? Kenapa ongkos bikin KTP juga berbeda-beda, untuk WNI asli Rp 1500, untuk WNI keturunan Cina dan Arab Rp 10.000, sedangkan untuk WNI keturunan Eropa serta WNA Rp 25.000? Kenapa ada diskrimínasi antara warga negara seperti terbaca dalam Perda No. 16/1988 Wali Komadya Bandung? Kenapa penduduk mesti dibikin susah mengurus segala macam perpanjangan izin? Buat apa mereka harus mengisi berlembar-lembar surat keterangan yang kenyataannya sistem filenya tidak ada? Kalau toh ada sistem file itu, di mana mesti disimpan dan berapa luas ruang yang diperlukan?
Ini bukan pendapat main-main, melainkan hasil penelitian antropolog Dr. Masri Singarimbun dari Universitas Gadiah Mada, yang melihat betapa banyaknya keadaan yang tidak logis dan buang waktu, betapa banyak aturan yang bersifat “involusi”, membikin berabe orang lain yang tidak ada gunanya buat siapa pun. Memang Masri Singapurimbun tidak menyebut-nyebut perestroika, tapi begitulah kira-kira yang dikehendaki gerakan perestroika itu, merombak tatanan yang tidak masuk akal dan merupakan hambatan belaka buat perbaikan dan kemajuan serta akal sehat.
STAF peneliti Universitas Gadjah Mada itu barangkali tidak tahu bahwa di ujung hidungnya sendiri, di kota Yogya, masih saja ada aturan yang akibatnya cuma bikin susah orang tanpa membawa faedah buat siapa pun. Misalnya, aturan pesan tempat kereta api di stasiun Tugu. Secara kelaziman, loket pesan tempat dibuka pukul 10 pagi, tapi untuk juruan Bandung lewat Mutiara Selatan, karcis pesanan baru bisa dibeli pukul 22.00 sedangkan kereta api sampai di stasiun Tugu dari Surabaya pukul 23.30.
Apa akibatnya? Akibatnya tentu saja merepotkan penumpang yang berminat. Karena ia tidak bisa pesan tempat pagi-pagi sebagaimana biasanya, berarti ia mesti pesan tempat dan beli karcis pukul 22.00 WIB. Pesan tempat ini bukan saja tidak bisa dilakukan di stasiun Tugu, tapi juga tidak bisa dilakukan di biro perjalanan yang khusus jual karcis kereta api di Jalan Katamso. Maka dari itu, jika ada seorang turis yang tinggal di hotel Ambarukmo dan kepingin ke Bandung, berarti dia tidak bisa beli karcis pagi-pagi, melainkan harus pergi ke stasiun Tugu pukul 22.00. Berarti, dia tidak mungkin bisa kembali dulu ke Hotel Ambarukmo karena jaraknya yang cukup jauh, sehingga mengharuskannya tunggu nongkrong di stasiun hingga pukul 23.00. Ini jelas satu hal y tidak perlu dan tidak masuk akal. Kenapa stasiun Tugu tidak bisa melayani pembelian karcis dan pesanan tempat pada pagi hari? Kenapa penumpang mesti disiksa dengan cara begitu? Apa susahnya mencek ke Surabaya mana-mana tempat yang kosong untuk dipakai penumpang yang naik dari stasiun Tugu, Yogya?
Apa bukannya suatu cara juga melakukan involusi alias bikin berabe orang lewat aturan yang aneh? Bukankah yang namanya “pesan tempat” bisa dilakukan jauh dari jam keberangkatan, bukannya pada saat yang bersamaan, schingga yang namanya “pesan tempat” menjadi kabur maknanya? Jika di tempat penjualan karcis seperti di Jalan Katamso bahkan di stasiun sendiri tidak bisa dilaksanakan, di mana lagi orang bisa berurusan? Apa mesti beli di kantor pusat di Bandung?
Contoh lain cara membikin susah oroang juga terjadi di Yogya, di tempat kediaman peneliti Universitas Gadjah Mada itu sendiri. Misalnya, jika ada turis yang bermaksud melihat-lihat pantai laut Parangtritis, demi memenuhi seruan pemerintah sendiri untuk menggalakkan pariwisata. Jarak normal antara Yogya dengan Parangtritis tak lebih dari 27 kilometer. Tapi, karena terhalang kali kecil yang airnya berpasir, dan tidak mungkin bisa dilewati mobil kecuali lewat rakit, maka orang mesti ambil jalan berputar lewat Imogiri yang jaraknya menjadi hampir 2 kali lipat jauhnya.
Kenapa di atas kali kecil itu tidak bisa dibikinkan jembatan sehingga mobil bisa lewat? Kenapa turis-turis itu dibiarkan bersusah payah mengambil jalan berputar atau naik rakit seperti halnya di pedalaman Afrika? Kalau betul sikap penduduk setempat menghalang-halangi pembuatan jembatan agar mereka bisa dapat nafkah lewat penggunaan rakit, apa mustahil buat pemerintah setempat meyakinkan mereka agar sudi punya jembatan? Apa artinya menggalakkan pariwisata seperti di Parangtritis jika untuk melintasi satu sungai kecil saja merupakan kemustahilan? Memang, pembuatan jembatan sudah bermula, tapi bertahun-tahun lamanya kita sudah sempat menyiksa begitu banyak orang.
Untuk adilnya, perlu juga dicatat bahwa stasiun Tugu Yogya punya kelebihan yang layak ditiru oleh stasiun-stasiun kota lain. Yaitu, mereka yang kebetulan msti menunggu kereta api, tidak perlu terbengong-bengong hingga bosan, karena di stasiun mereka disediakan tempat duduk secukupnya beserta sebuah pesawat televisi besar yang bisa ditonton puluhan orang sambil santai. Betapa banyak stasiun besar yang sama sekali membiarkan penumpang keluyuran tak tahu apa yang mereka lakukan sementara menunggu kereta api datang. Apa gunanya bikin susah orang jika kita bisa membuatnya enak? Bukankah tujuan pemerintah di mana-mana membikin barang sulit jadi mudah dan bukan sebaliknya! Atau: apakah negeri ini perlu juga punya gerakan perestroika dan glasnost?



