TheJatim.com – Anggota Komisi A DPRD Surabaya, Muhammad Saifuddin, mengingatkan para aktivis dan gerakan mahasiswa di kota pahlawan untuk tidak apatis. Dia menilai aktivis dan gerakan mahasiswa memiliki posisi strategis dalam mengawal perubahan sosial-politik.
“Surabaya adalah sentral dari sentral di Provinsi Jawa Timur. Kota ini menjadi pusat ilmu pengetahuan, ekonomi, kebudayaan, dan pergerakan,” ujar Politisi Demokrat yang akrab disapa Bang Udin, Kamis (14/8/2025).
Menurut dia, siapa pun aktivis yang ditempa di Surabaya berpeluang besar menjadi kader bangsa. Namun, tanpa memahami energi positif kota pahlawan ini, mereka akan tertinggal.
“Siapapun aktivis yang lahir di Surabaya, saya yakin akan menjadi kader bangsa. Tapi jika tidak memahami energi positif kota ini, maka akan tertinggal,” tegasnya.
Mantan aktivis PMII ini mengingatkan mahasiswa agar tidak menjadi lulusan yang terjebak pada kepentingan kapitalisme atau neo-imperialisme. Pendidikan di Surabaya harus melahirkan intelektual yang merdeka secara pikiran.
“Ketika lulus, mereka akan menjadi sarjana yang sujana, bukan sarjana yang diperbudak kapitalisme atau dieksploitasi neo-imperialisme,” ungkapnya.
Saifuddin juga membahas urbanisasi sebagai keniscayaan yang dialami banyak mahasiswa perantau. Menurutnya, faktor kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan menjadi pendorong utama.
“Ada tiga faktor utama yang mendorong masyarakat pindah ke kota, yakni kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan,” jelasnya.
Dia menceritakan pengalamannya merantau dari Sampang ke Surabaya pada 2004 untuk kuliah. Bagi aktivis, urbanisasi harus menjadi sarana membangun kapasitas, bukan sekadar mencari penghidupan.
“Banyak rekan dari berbagai organisasi mahasiswa di Indonesia memilih menetap di kota hingga memiliki bekal pengetahuan dan sumber daya sebelum kembali membangun daerah asal,” ujarnya.
Bang Udin berpesan agar aktivis menjaga etika dan prinsip gerakan di tengah kehidupan perkotaan. Urbanisasi, katanya, harus membawa warna positif.
“Kalau sudah memegang etika dan prinsip, kita akan mampu mewarnai, tapi tidak bisa diwarnai. Urbanisasi itu baik jika diwarnai oleh hal-hal yang hasanah (baik), bukan yang dholalah (buruk),” tuturnya.
Dia juga mengulas perjalanan gerakan mahasiswa Indonesia sejak 1966 hingga 1998. Namun, pasca reformasi, dia menilai arah perlawanan mahasiswa semakin kabur.
“Gerakan 1966 berhasil menurunkan rezim Orde Lama dengan isu utama pembubaran Nasakom. Gerakan 1998 menjatuhkan Orde Baru yang bercorak otoritarian dan diktator. Namun pasca reformasi 1998 hingga 2025, musuh utama gerakan mahasiswa menjadi tidak jelas,” paparnya.
Hasil kajiannya menyebut apatisme sebagai musuh terbesar aktivis masa kini. Sikap ini, menurutnya, berbahaya karena membuat mahasiswa kehilangan kepekaan sosial.
“Setelah saya kaji, ternyata musuh utama pasca reformasi 1998 adalah sifat atau paham apatisme. Bung Karno pernah berkata, saya mudah menaklukkan kelompok imperialis, tapi sulit menaklukkan bangsa sendiri yang egocentris. Apatisme itu saudaranya egocentris,” tuturnya.
Dia menilai, gejala apatis semakin tampak di kota besar. Aktivis yang dulu cepat merespons ketidakadilan kini lebih banyak diam.
“Bayangkan, ketika ada yang kecelakaan, bukan menolong, malah selfie. Dulu kalau ada rakyat yang tertindas, kelompok pergerakan pasti bergerak. Sekarang, gerakan heroik 2020–2025 hampir tidak ada,” tambahnya.
Dia menegaskan, penguasa lebih takut pada aktivis yang kritis dan memberi terapi sosial-politik dibanding kelompok preman. Dia mengajak mahasiswa Surabaya untuk memperkuat kolaborasi lintas organisasi.
“Ketika teman-teman melakukan urbanisasi, jadilah kelompok hebat yang memberi jangkauan luas, bukan sekadar pulang kampung tanpa bekal. Jangan terlalu mendewakan bendera, tapi kuatkan kolaborasi,” tandasnya.