*Oleh Mahbub Djunaidi, 16 Oktober 1988.
TheJatim.com – BETAWI adalah… Betawi. la berdiam di Jakarta dan seputarnya. la orang kebanyakan. la bukan berasal dari dasar laut atau pucuk gunung. la punya satu kepala dan dua kaki. la termasuk kesatuan etnis Melayu. la bersih dari feodalisme. la tak merasa lebih dan juga tidak merasa kurang. la demokratis dan terbuka. la merasa berasal dari “Kaum Betawi” pimpinan Husni Thamrin. la merasa pendukung Bung Karno ketika rapat umum di lapangan Ikada tanggal 15 September 1945. la republikein tulen. Dalam banyak hal ia merasa tergusur dan kececeran dalam persaingan metropolitan. Dalam banyak hal ia tidak cerewet walau pemerintah daerahnya dipegang orang kampung lain.
la tidak ambil pusing akan asal-usul kata Betawi itu. Apakah berasal dari Batavia. Atau berasal dari Betai. Ataupun berasal dari Batara Dewi, gelar raja Saka Uko Fatwati, raja Sundakelapa IV, ataupun berasal dari kata Fatawi atau Fatawa. Masyarakat awam tidak ambil pusing dengan segala macam versi itu.
TAPI, makalah yang timbul di dalam lokakarya sehari di Universitas Jakarta tanggal 19 September 1988 mengundang aspek lain. Makalah itu mencoba menawarkan segi penilaian historis lain. Makalah itu mengatakan bahwa Betawi itu mendadak jatuh dari langit dan bukan muncul begitu saja dari kolong meja. la sebagai suku sebenarnya punya sejarah panjang ke belakang. Saking jauh kebelakangnya, makalah menyebut ke tahun 130 Masehi ketika raja Dewawarman bertahta dari kerajaan Salakanagara, berlanjut ke kerajaan Tarumanegara, lantas Sunda Sembawa, lantas Kendan, lalu Sunda Galuh. Kemudian Sunda Pakuan, menyusul Pajajaran, kemudian Sunda Banten, kemudian Indraprahasta; lalu Saunggaluh, menyusul Sunda Calunggung. Sriwijaya, Bahulapura, Talaga, Katingga, Majapahit, Pasai, Malaka, Sunda Kelapa.
Dari sinilah muncul Fatahillah sebagai adipati yang kemudian mengganti Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Pangeran Adiningrat Jayakarta XI yang beranama R. Aria Amin Mertakusuma adalah penguasa terakhir yang wafat tahun 1868 Masehi dimakamkan di Tanah Tinggi Kayuputih yang kemudian makamnya kena gusur proyek Pulomas.
Sesudah pangeran ke XI inilah kekuasaan kolonial makin menancapkan kukunya sehingga banyak pemimpin menyingkir ke bagian pinggiran dan membentuk perlawanan di bawah pimpinan apa yang disebut “tujuh pendekar Jayakarta” atau Pituan Pitulung yang lebih terkenal dengan sebutan Si Pitung.
Makalah juga menyinggung ke-jengglong-an atau keabsurdan yang menimpa segi kesenian. Lenong yang tadinya mengisahkan cerita-cerita perlawanan rakyat seperti cerita Kebo Lanung mengenai akal busuk VOC memperoleh sebidang tanah di daerah Pasar Ikan lewat seorang penipu Raden Rana Manggala, atau cerita Pecah Kulit atau cerita Pangeran Aria Jipang Jayakarta, oleh VOC dialihkan (sesudah lebih dulu lewat pelarangan) menjadi cerita-cerita yang berbau Cina atau cerita-cerita khayal dari Timur Tengah semacam Seribu Satu Malam.
Ke-jengglong-an budaya ini terus berlanjut dan mencapai puncaknya pada saat Pralokarya tahun 1976 yang dianggap secara sengaja atau tidak telah melumpuhkan dan membelokkan seni budaya Betawi sehingga coraknya seperti kita lihat sekarang ini. Cerita-cerita yang penuh hardikan dan makian, cerita yang melukiskan orang-orang ganas atau orang dungu, jelas sudah menyimpang dari jalur resminya.
Kolonial telah berhasil mengalihkan alur cerita yang tadinya heroik menjadi cerita tetek bengek yang tidak bisa diambil manfaat apa pun. Belum lagi penyimpangan-penyimpangan yang teriadi pada soal corak pakaian adat tradisional. Pakaian tradisional seperti model pakaian Gusti atau khalifah yang begitu anggun, telah disulap menjadi pakaian “Abang-None” atau disulap menjadi pakaian para centeng atau para nelayan hotel atau restoran.
BOLEH jadi karena awam sejarah, atau boleh jadi karena riwayat itu tak lebih dari berita lisan yang belum tentu benarnya, atau boleh jadi karena riwayat itu bersandar pada yeru pangeran Wangsakerta dari Cirebon belum teruji kebenarannya, maka umumnya para peserta lokakarya di Unija itu terbengong-bengong mendengar kisah riwayatnya sendiri. Mereka tak bisa bayangkan orang Betawi ada yang bergelar Raden atau Gusti atau Ratubagus.
Terbengong-bengong atau tidak, masalahnya sebaiknya diluruskan, lewat sebuah lembaga pengkajian yang serius. Artinya, lewat penelahaan ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Kalau misalnya terbukti ada orang Betawi berdarah pangeran, urusan apa melarang ia memakai gelar Raden atau Radin singkatan Ratu Bagus Diningrat atau Gusti atau Khalifah di depan namanya. la boleh-boleh saja menggunakan gelar itu seberapa panjang pun yang ia suka, toh rasanya tidak perlu membayar kepada siapa pun juga. Toh kualitas orang tidak diukur dari deretan gelar melainkan pada yang ia lakukan.
Orang menyukai Bang Maing tukang sop adalah karena bumbunya dan bukan karena Bang Maing berdarah Raden atau Khalifah atau apa saja yang hebat-hebat. Toh di zaman modern dan rasional ini, orang tidak akan ambil pusing dengan gelar-gelar yang dicantumkannya, melainkan pada isi kepalanya. Toh dalam alam republik ini, gelar-gelar kebangsawanan betapapun seramnya, tidak akan menimbulkan efek apa-apa. Gelar-gelar itu boleh saja dipakai sejauh tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum.
Ketentuan ini berlaku untuk semua gelar-gelar, apakah dia itu dari Jawa atau Jakarta, ataupun gelar-gelar dari kayangan. Satu hal sudah pasti, akal sehat tidak bisa terima kembalinya feodalisme baik secara terang-terangan atau samar-samar, baik secara utuh maupun sepotong-potong. Satu negeri belum bisa disebut merdeka penuh jika politik dan ekonominya masih bergantung, dan jika feodalisme masih merasuk ke dalam tubuh masyarakat.
Baik, saya buatkan meta deskripsi dan kata kunci SEO premium dari narasi panjang mengenai Betawi yang Anda berikan. Fokusnya adalah agar ramah mesin pencari, namun tetap terasa manusiawi dan natural.