Rabu, 15 Oktober 2025
Image Slider

BINATANG APA?

Ketika “mufakat” jadi alat tutup mulut yang dibungkus rukun

*Oleh Mahbub Djunaidi, 15 Januari 1989.

TheJatim.com – BINATANG apa konsesus itu? Kalimat ini berasal dari judul tulisan almarhum H. Usmar Ismail tokoh perfilman Indonesia yang pernah dimuat di koran saya yang juga sudah almarhum. Apa maksud kalimat itu? Tampaknya almarhum Usmar Ismail agak mengejek istilah “konsensus” walaupun belum tentu semuanya sudah sepakat. Karena segalanya harus dimufakati, maka keluarlah istilah konsensus untuk menganggap semuanya sudah beres.

Liberalisme tidak kenal konsensus seperti yang kita pahami sekarang. Liberalisme mengenal pungut suara. Jika yang bilang A 51 orang dan yang bilang B cuma 49 orang, maka yang jadi adalah yang 51 orang. Begitu sudah jadi, maka yang 49 orang mau tidak mau mesti menurut kepada pendapat yang 51 orang. Jika yang 49 orang itu masih ngotot, dan membandel untuk tidak mau terima, maka namanya sudah bukan demokrasi lagi melainkan anarki. Sedangkan anarki dianggap tindakan bergajul yang tidak bisa diterima, orang bergajul cuma layak hidup di hutan, di luar masyarakat manusia.

Baca Juga:  Taubat Menghapus Dosa, Ujub Menghilangkan Amal

LIBERALISME Sudah lama dikecam orang. Dianggap membuka peluang bagi orang yang lebih kuat, yang ototnya melingkar, yang lebih kaya, yang lebih pintar, untuk mengeduk suara penyokong yang lebih besar. Yang menang belum tentu kebenaran, melainkan yang lebih kuat, yang lebih banyak suara walaupun zalim. Liberalisme dianggap memberi peluang bagi manipulasi, sogok-menyogok atau gertak-menggertak sehingga yang dapat suara lebih banyak hanyalah mereka yang pintar nyogok dan gertak, atau pintar ancam. Yang menang atau dapat suara lebih banyak bukanlah pikiran yang sehat dan pandai ancam, dan pandai ngibul.

Maka dari itu, Nazi Jerman termasuk pihak yang menolaknya. Lewat “logika” aneh Hitler memaki-maki liberalisme, memaki-maki sistem pungut suara ini. Hitler bilang: Kalau masalahnya cuma soal “separuh lebih satu” suara, kenapa tidak pakai yang satu suara saja dan tidak perlu pakai yang separuh itu? Kenapa tidak pakai suara Hitler yang satu itu jadi keputusan? Kenapa mesti repot-repot? Maka dengan dalih mencerca liberalisme, lahirlah diktator dan tiran.

Baca Juga:  HUMAS

BUKAN cuma Hitler yang mengutuk liberalisme, tapi juga Bung Karno, walau dengan alasan yang berbeda. Bung Karno berangkat dari pertimbangan semangat gotong royong dan musyawarah mencapai mufakat yang jadi kebiasaan rakyat Indonesia. Di desa-desa Indonesia tidak ada pungut suara itu, yang ada hanyalah musyawarah. Tapi Bung Karno pun, seperti juga Hitler, mengecam pungut suara yang dianggapnya bisa dimanipulasi oleh mereka yang kaya, yang kuat, yang suka nyogok dan suka ancam-mengancam, yang suka memperbodoh rakyat.

Akibat dari kecaman itu, maka kita pun sekarang berpegang pada prinsip musyawarah mutakat. Tidak ada main pungut suara. Tidak ada “voting”. Setuju atau tidak setuju, pokoknya mesti bulat mufakat. Mesti konsensus. Memang, tata-tertib DPR dan MPR membuka kesempatan “voting” sebagai jalan keluar jika toh ada yang tidak sepakat, tapi dalam praktek “voting” itu tidak ditolerir, dianggap barang halal yang “haram”.

Baca Juga:  Gus Baha: Orang Islam Pasti Menang kepada Orang Kafir

Belakangan ini ada pendapat yang menarik dari kawan saya Sutjipto Wirosarjono. la bilang, perbedaan pendapat itu janganlah dianggap momok, jangan dianggap konflik ganggu kestabilan dan bisa mengganggu segala macam. Justru karena ada beda pendapat itulah maka bisa lahir konsensus. Bagaimana mungkin bisa ada konsensus jika tidak didahului dengan beda pendapat.

Pendapat Sutjipto itu baik direnungkan bagi mereka yang terlampau cemas dengan adanya beda pendapat, yang terlampau cemas dengan adanya polemik, yang terlampau cemas dengan adanya konflik. Padahal, justru konsensus yang mulus, tidak munafik, yang tidak semu itu justru hanya bisa dicapai lewat sesudah adanya perbedaan pendapat.

Saya yakin, jika H. Usmar Ismail masih hidup di antara kita, dia akan mufakat juga dengan pendapat Sutjipto dan tidak mengajukan pertanyaan yang sedikit menyindir: Binatang apakah konsensus itu?

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Baca Juga
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Terbaru
ADVERTISEMENT