*Oleh: Isfandiari Mahbub Djunaidi.
TheJatim.com – Bebuka abad 20, Nusantara bergolak. Bercokol penjajah yang direspon perlawanan. Rakyat, pasang badan taruhkan nyawa demi ibu pertiwi. Dari kalangan santri hadir Laskar Hisbullah, bergulung sinergi menjadi cikal bakal tentara Indonesia. Sejarahpun mencatat perang-perang besar, moment historikal betapa mahal ongkos berdirinya sebuah negara. Dirgahayu TNI, Dirgahayu para santri dan kalian para bikers, simak polah senior kalian terdahulu!
Banyak peristiwa dialami sebagai romantika pengingat bagi generasi sekarang. Di awal abad 20, suasana masih terasa adem ayem walau di dalamnya bergolak. Pemuda era itu matang di usia belia, paham kejinya imprialisme, kapitalisme, kolonialisme. Organisasi-organisasi modern terbentuk dengan idelogi beragam; ada berbasis agama ada juga sekuler. Saat itu niatnya mengerucut, menuju Indonesia merdeka, kooperatif ataupun non dengan penjajah.
Kuatnya militer Belanda saat itu bisalah tergambar. Misalnya di wilayah Tatar Priangan, Jawa Barat khusus Bandung. Coba bayangkan suasana saat itu. Zona yang disebut paradise in exile atau preangerplanter. Yuk kita bayangkan! Udara bersih, penduduk masih jarang. Tipografi Bandung indah seperti digambarkan sebagai Paris Van Java. Pemerintah Belanda punya pasukan bermotor berjuluk CORO (Cursus Opleiding Reserve Officieren). Mereka ganteng, necis, gagah berambut kuning berposisi sebagai perwira cadangan. Tiap Sabtu sore, pede unjuk kekuatan lewat upacara bendera yang disebut Vlag Vertoon dan Taptoe. Berdandan, klimis-rapi nan resik berbaris meninggalkan Kazerne (Asrama) di daerah lapangan Siliwangi menuju Pieterspark (sekarang Taman Merdeka) sebelah Utara Jl. Braga. Kiah CORO ini sedikit muncul di adegan film Dilan-Ancika, lewat dialog Dilan dan bokapnya, diperankan Arbani Yasiz (Dilan) dan bokapnya aktor Mathias Muchus.
Mereka bukannya hang out dan city tour! Saat patroli, warga Sunda dipastikan senewen melihat opsir Belanda mondar-mandir pakai sespan kosong. Dulu sespan dipakai berburu pemberontak atau bromocorah-penjahat. Sang opsir atau Opas bakal tangkap itu bajingan dan dihempas kasar ke sespan, terikat menuju markas Dari kisah orang tua dulu, mereka masuk-keluar kampung nyemplak Harley-Davidson, kontrol lelaku penduduk, siapa tahu ada berpolah kriminal. Itulah tekanan yang dilakukan Belanda di era itu.
Di lain tempat pastinya mirip-mirip. Sampai akhirnya perlawananpun terjadi di tahun-tahun ke depan. Pemberontakan, pemogokan memicu perang besar di kemudian hari sampai peralihan Belanda ke Jaman Jepang dan kembalinya penjajah awal mengajak sekutunya. Puncaknya saat kita meletup energi, proklamirkan kemerdekaan oleh founding father, Soekarno-Hatta atas sokongan berbagai tokoh dan rakyat Indonesia. Ini bukan tanpa konsekwensi, menyatakan merdeka bukan sertamerta perayaan x-travagansa, tarian daerah, tamu negara, makanan enak dan senyum sumringah. Di Indonesia, proklamasi diteruskan perang berdarah, tak cuma dengan Belanda, sekalian berantem dengan sekutunya Inggris di tahun 1945-Heroik.
Sepenggal kisah terekam dari Roeslan Abdulgani yang waktu itu berpangkat Kapten. “Sore, 30 oktober 1945, jendral Inggris, Brigjen A.W.S Malaby, tewas dalam baku tembak di seputar Gedung Internatio Krembangan Selatan Surabaya. Mobilnya meledak! Tak sampai disitu, tewas juga Brigjen Robert Guy Loder Symonds di 9 November tahun dan peperangan yang sama. Ia hancur lebur musabab pesawat yang ditumpanginya ditembak pejuang, siapa yang nembak? Misteri sampai sekarang,” katanya.
Mayor Jendral Sir Eric Carden Roberts Mansergh, komandan pasukan Inggris murka. Ia langsung beri komando,jatuhkan bom-bom dari langit. Gedung-gedung termasuk bekas markas Kempetai, rumah apalagi warung semi permanen luluh lantak. Warga Surabaya bergeming, mereka tak ciut nyali dan pasang badan melawan segenap kemampuan. Ini perang suci! Mayoritas muslim, abangan juga santri tulen mendidih darahnya. Negri ini harus dibela, apalagi ada keluar Resolusi Jihad oleh KH. Hasyim Ashari, pendiri Nahdlatul Ulama di 22 Oktober 1945. Isinya jelas, umat Islam wajib melawan penjajah dengan segala daya. Tak hanya doa tapi melawan secara fisik. Jihad fisabillilah, membela negri tercinta bagian dari iman, mereka yang militan terutama laskar Hisbullah. Di waktu ke depan, momen inilah yang jadi dasar ditetapkan Hari Santri Nasional (HSN). Begitulah.
Memang perang dahyat! Dunia mencatat, satu satunya perseteruan negara maju (baca: Sekutu (Inggris-Belanda) dan negri yang masih bayi, menewaskan 2 jendral sekaligus. Cak Sutomo atau Bung Tomo yang waktu itu berumur 25 berkoar di stasiun radio Perjuangan dan Radio Pemberontakan. Ia jadi provokator republik ‘membakar’ dalam bentuk retorika heroik yang legend sampai kini. Nggak cuma bicara ia terjun langsung di medan laga.
Banyak Korban cidera dan pulang ke alam baka. Mereka yang bugar bermata menyala nafsu membunuh sesama manusia. No mercy, rawe-rawe lantas malang malang putung. Dari pihak republik, TNI yang waktu itu disebut BKR (Badan Keamanan Rakyat), TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) tak bersekat dengan warga sipil. Mereka berperang side by side mengadu nyawa dan beberapa gugur sebagai bunga bangsa. Sulistina Sutomo, istri Bung Tomo remaja belia 20 tahun berkisah dalam buku Bung Tomo Suamiku, “Saat itu saya anggota Palang Merah Indonesia (PMI). Kami tidak jalan kaki tapi pakai motor bersespan (side car),” jelasnya. Berarti berdua, ibu Sulistina dibonceng oleh rider-duduk di sespan merangsek masuk ke medan tempur mencari korban yang bisa diselamatkan.
Selanjutnya, “Korban kami bawa menuju truk pengangkut untuk kemudian dibawa ke tempat aman dan dirawat,” kisah ibu yang kini sudah wafat di 31 Agustus 2016 lalu. Sejarah mancatat, ibu lupa motor apa yang menyertainya berjuang.
Motoris pecinta sejarah berusaha menelaah dan membayangkan, varian yang sudah wara-wiri di jaman itu. Motor-motor rampasan perang bisa jadi BSA M20 rigid cangkrang 1941, bisa juga HD WL. Kebanyakan motor didapat Dari rampasan perang atau milik tauke pengusaha Tionghoa. Selain HD WL ada juga keluarga BSA, M21, BSA M16 versi militer. Ada juga NSU atau Norton versi militer N16 atau Exelsior. Di beberapa brader Bike Enthusiast, motor-motor itu masih ada, termasuk BSA M20: masih ‘menyala’.
Kisah motor itu tak melulu hasil rampasan. Di tahun 20-an, perdagangan kita sudah maju Para cukong, mandor perkebunan tergolong kaum digdaya, mampu beli motor Eropa- Amerika. Mau bukti? Iklan majalah Sin-po tahun 30-an yang sudah memuat iklan-iklan motor macam itu. Joehana Sutisna a.k.a Kang Joe, sarjana sejarah yang juga biker, plus aktor film. Sosok botak ini ada berkata. ”Betul! Indonesia saat itu sudah jadi pasar penjualan motor-motor keren.”
Itu kisah Surabaya! Di lain tempat, perang besar juga terjadi. Bandung, pusat tatar priangan, ada Bandung Lautan Api, 23 Maret 1946. Inggris seenaknya membagi wilayah ini dalam dua, Utara milik Inggris dan Selatan milik Indonesia. Biang keroknya Brigade Mac Donald yang sudah ngendon di Bandung pada 12 Oktober 1945. Muncul ultimatum yang bikin gusar republiken: Wajib ada evakuasi secara militer di wilayah Bandung Selatan pada Maret 1946. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Badan Keamanan Rakyat (BKR) bereaksi hingga pecah perang. Mereka dan warga membakar wilayah Bandung Selatan agar tidak diduduki. Tokoh-tokoh yang terkenal dari kalangan Kyai juga dicatat, seperti KH. Anwar Musaddad dan KH. Yusuf Taujiri dari pesantren Darusallam, pentolan Laskah Hisbullah.
Pejuang kita nggak cuma mengincar senjata Belanda. Motor-motor yang mereka semplak juga jadi bagian penting perjuangan ini. Kisah-kisah perampasan selalu jadi cerita heroik senior-senior kita. Almarhum Rachmad Hidayat (Presiden HDC Pertama), Letnan. Poniman (Alm), H.Bariji (Alm), Kang R.Amir (Alm), Brigjen Somali dan Haryoto Kunto (Alm) seorang planolog kondang. Pak Kunto menorehkan ini dalam bukunya, Bandoeng Tempoe Doeloe.
Di era yang lebih baru, 7 Agustus 1949 terjadi peristiwa DI-TII (Darul Islam-Tentara Islam Indonesia) dan penumpasannya di tahun 50-an. Pasukan yang dipimpin Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dibrangus Tentara Nasional Indonesia. Mereka lari ke gunung dan motor-motornya ditinggal di jalan. Ada pemuda 18 tahu pemberani, dialah Kang Ayi yang beken sebagai tokoh Harley Club Bandung (HCB), motor yang dirampasnya HD the Forty five (45 cu) alias 750 cc.
Semua itu sepenggal kisah dari rentetan kisah-kisah lain di era itu. Perjuangan memang berat, support respect untuk pendahulu kita. Doakan mereka dan teruskan. Dirgahayu TNI… Selamat Hari Santri!