TheJatim.com – Rencana pembangunan tiga Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) baru di Surabaya mendapat sorotan tajam dari Komisi D DPRD Kota. Anggotanya, Imam Syafi’i, meminta Pemkot untuk menunda proyek tersebut demi menyesuaikan kebijakan daerah dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait wajibnya pendidikan gratis bagi seluruh siswa SD dan SMP, baik negeri maupun swasta.
“Kalau prosesnya belum berjalan, sebaiknya pembangunan tiga SMPN ini distop dulu. Tujuannya agar sinkron dengan putusan MK,” tegas Imam saat dikonfirmasi, Rabu (2/7/2025).
Politisi Partai NasDem itu mengungkapkan, Pemkot sebelumnya berencana membangun lima SMPN baru, dengan tiga proyek di antaranya akan direalisasikan tahun ini. Nilai anggarannya berkisar antara Rp60 hingga Rp66 miliar, atau sekitar Rp20-22 miliar per sekolah. Namun menurut Imam, kebijakan tersebut kurang efisien jika melihat keterbatasan tenaga pendidik dan belum dioptimalkannya peran sekolah swasta.
“Daripada bangun gedung baru, mending manfaatkan sekolah swasta yang ada. Bisa saja operasionalnya tetap swasta, tapi pemerintah bantu lewat APBD, yaitu guru, fasilitas, gaji, semua dijamin,” jelasnya.
Ia mencontohkan skema serupa yang diterapkan di DKI Jakarta, di mana guru sekolah swasta dikontrak pemerintah dan digaji setara Upah Minimum Kota (UMK). Menurut Imam, model ini lebih cepat dan efisien ketimbang membangun sekolah baru yang menyita waktu dan sumber daya besar.
Imam juga menyoroti persoalan klasik di sektor pendidikan Surabaya: kekurangan guru. Berdasarkan datanya, kekurangan tenaga pengajar di tingkat SD dan SMP negeri di Surabaya sudah tembus angka seribu.
“Kalau sekolah baru berdiri tapi gurunya belum siap, itu justru nambah masalah. Distribusi guru jadi timpang, bisa memicu protes,” ujarnya.
Imam menyebut, dorongan masyarakat untuk menambah sekolah negeri selama ini lebih karena keinginan agar anak-anak mereka bisa mengakses pendidikan gratis. Namun, dengan adanya putusan MK, ia menilai Pemkot semestinya bisa memperluas akses pendidikan gratis tanpa harus fokus pada pembangunan sekolah fisik.
“Sekolah swasta selama ini tetap narik uang, meskipun sudah dapat BOS dan BOPDA. Nah, kalau disokong APBD, siswa bisa gratis juga tanpa harus pindah ke sekolah negeri,” jelasnya.
Meski begitu, Imam mengingatkan bahwa tidak semua sekolah swasta bisa serta-merta mendapat dukungan. Pemerintah harus tetap selektif dengan memperhatikan kualitas guru dan fasilitas sekolah.
“Yang didukung ya sekolah yang kualitasnya sudah bagus. Tinggal ditingkatkan sedikit, dan siswa bisa langsung merasakan manfaatnya,” katanya.
Usulan penghentian proyek pembangunan ini, menurut Imam, bersifat preventif dan adaptif terhadap perkembangan regulasi nasional. Ia berharap Pemkot bisa melakukan evaluasi sebelum pembangunan terlanjur dilaksanakan.
“Kalau memang belum jalan dan masih bisa dibatalkan, sebaiknya ditinjau ulang. Tapi kalau sudah kadung jalan dan kontraknya nggak bisa dibatalkan, ya monggo diteruskan,” pungkasnya.