Thejatim.com – Kasus kredit macet di Kabupaten Banyuwangi kian memicu kegelisahan sosial. Tak hanya menjadi persoalan ekonomi, utang-piutang yang tak terselesaikan kini mulai merembet ke ranah konflik sosial.
Dalam beberapa pekan terakhir, sejumlah peristiwa mencuat, seperti penagihan utang disertai kekerasan, penolakan pembayaran secara terbuka oleh warga, hingga saling lapor antar pihak ke aparat penegak hukum. Kondisi ini mencerminkan rapuhnya sistem pinjam-meminjam yang dijalankan tanpa pengawasan dan regulasi jelas.
Salah satu sosok yang menjadi sorotan adalah Yunus, seorang aktivis lokal yang menyerukan agar warga tidak membayar utang kepada rentenir. Aksinya menuai pro dan kontra. Sebagian menilai langkah Yunus membela masyarakat kecil, namun tidak sedikit pula yang menudingnya justru memperkeruh suasana.
Reaksi keras pun bermunculan di media sosial. Akun TikTok @HambaRbt menilai bahwa utang tetap harus dibayar, apa pun alasannya. “Kalau mau pinjam pasti ada akad. Sudah tahu bunganya, kalau tidak siap bayar, jangan utang,” katanya dalam sebuah video.
Sementara akun @SaelonNababan menyebut aksi Yunus sebagai bentuk provokasi. “Itu bukan solusi, malah menjerumuskan. Jalan keluar dari utang ya dibayar,” tulisnya.
Pandangan senada disampaikan akun @RajaMudaAzhary yang menegaskan bahwa semua pinjaman pasti ada agunan. “Masyarakat harus bijak. Kalau berani berutang, harus siap menanggung risikonya,” ujar dia.
Di tengah silang pendapat ini, para pengamat mengingatkan bahwa persoalan kredit macet tak bisa hanya dilihat dari sisi pelaku individu. Masalah ini juga berkaitan dengan aspek hukum, psikologis, hingga moral. Jika tidak ditangani dengan serius, kepercayaan sosial bisa terkoyak dan berujung pada konflik horizontal.
Pemerintah daerah dan DPRD Banyuwangi didorong untuk turun tangan dengan merancang regulasi yang lebih ketat, termasuk Peraturan Daerah (Perda) tentang lembaga keuangan informal. Langkah konkret juga diharapkan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan aparat penegak hukum untuk mencegah konflik semakin meluas.
Sementara itu, masyarakat diimbau untuk berhati-hati dalam memilih tempat meminjam uang. Memahami syarat dan konsekuensi pinjaman dinilai penting agar tidak terjebak dalam persoalan yang lebih besar.
Praktik pinjam-meminjam yang sehat membutuhkan transparansi, regulasi yang adil, serta komitmen dari kedua belah pihak. Tanpa itu, kisruh seperti yang terjadi di Banyuwangi bisa saja terjadi di wilayah lain.