TheJatim. Surabaya – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Rumah Keadilan Masyarakat (RKM) Surabaya, gelar Workshop bertema ‘Raja Raja Kecil Di Surabaya, Salah Siapa?’. Ketua LBH RKM, Nanang Sutrisno mengatakan, workshop ini diawali dari ketidakjelasan batasan kewenangan dan perbedaan penafsiran peraturan yang ada.
Acara tersebut, digelar di Hotel G Suites, Jl. Gubeng, pada Kamis (4/11/2021), dengan mengundang Ketua DPRD Kota Surabaya, Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman, PT. Ciputra, PT. Artorius Telemetri Sentosa, dan perwakilan Warga Citraland Surabaya.
Nanang Sutrisno, menyayangkan ketidak hadiran Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman dan Direktur PT. Ciputra pada acara tersebut. “Kita sudah masukkan undangan dan sudah kami dapatkan tanda terima, tapi dari keduanya tidak hadir dan tidak ada konfirmasi. Padahal kita berusaha membantu menyelesaikan masalah yang berlarut ini ada jalan keluarnya,” katanya.
Ia melanjutkan, ketidakhadiran kedua pihak tersebut akan menjadikan masalah lebih berlarut. Akan tetapi, kehadiran perwakilan Ketua DPRD Kota Surabaya, melalui Staf Ahli yang datang. Nanang merasa lebih optimis menyelesaikan masalah yang dihadapi clientnya.
“Alhamdullilah Bapak Syukur Amaludin dan Ahmad Hidayat, menyarankan untuk mengajukan hearing ke DPRD Surabaya. Supaya pihak-pihak terkait bisa hadir dan memberikan solusi,” ujarnya.
Adapun permasalahan yang dibahas, Eddy Widjaja perwakilan Warga Citraland Surabaya mengatakan, pihak pengembang, dalam hal ini PT. Citraland, memungut biaya retribusi Fasilitas Umum (fasum) dan Fasilitas Sosial (fasos) dengan kesewenangan pihak pengembang tanpa persetujuan warga setempat.
“Biaya retribusi tersebut, sangat tinggi dan mahal. Jadi kita sudah beli perumahan itu, bayar pajak PBB, dan kita dituntut pengembangan untuk membayar yang tidak ada dasar hukumnya,” katanya dengan kesal.
Ia menjelaskan, bahwa dalam putusan Mahkamah Agung, dan diperkuat oleh putusan Pengadilan Negeri Cibinong yang memuat biaya perawatan lingkungan perumahan, menjadi tanggungjawab pengembang.
“Bukan tanggungjawab warga. Jadi, pengembang harusnya menyerahkan fasum dan fasos kepada pemerintah Kota Surabaya, menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Tapi kalau tidak diserahkan, pengembang yang wajib menanggung biaya perawatan lingkungan,” tuturnya.
Di sisi lain, Arie Fandi Direktur Operasional PT. Artorius Telemetri Sentosa yang bergerak dibidang Internet servis provider mengatakan, pihak pengembang PT. Citraland mempunyai tenaga keamanan yakni satpam, yang bertindak tidak menyenangkan dan mengusir karyawannya, saat melaksanakan tugas.
“Jadi, pada saat karyawan kami melakukan pekerjaan instalasi atau perbaikan di rumah pelanggan, bahkan saat mengambil peralatan kami sendiri, kami dihalangi dan mereka menjawab ‘itu perintah atasan’ jawabannya sederhana,” terangnya.
Lanjut Arie, satpam tersebut mengatakan, management mereka punya peraturan sendiri dalam mengatur segala hal yang ada didalam perumahan. Akan tetapi, saat Arie meminta berkas atau dokumen peraturan tersebut, satpam Citraland tidak bisa menunjukkan.
“Kami menanyakan, peraturan seperti apa, dan berbunyi bagaimana. Tapi mereka tidak bisa menunjukkan, dan bersikeras tida diperkenankan masuk. Dalam kasus ini, kami sudah melaporkan ke KPPU Jawa Timur,” tegasnya.
Kemudian, perwakilan Ketua DPRD Surabaya, Syukur Amaludin mengatakan, kasus seperti yang dialami warga Citraland sangat umum dan banyak ditemui di Kota Surabaya. Ia menyebut, adanya kelemahan dari peraturan yang di miliki Pemerintah Kota Surabaya, tentang fasum dan fasos.
Ia menyebut, bahwa Pemerintah Kota Surabaya memiliki Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 Tentang penyerahan prasarana, sarana dan utilitas pada kawasan industri, perdagangan, perumahan dan permukiman. “Dan kelemahan dari peraturan itu memang ada, bukan tidak ada. Sehingga, kelemahan itu yang mereka (pengembang) yang mereka pergunakan untuk melanggar,” jelasnya.
Jika pengembang mempunyai kewenangan tidak ingin menyerahkan fasum dan fasos, berarti disini ada kelemahan Pemkot Surabaya. “Bagaimana caranya Pemerintah Kota Surabaya menerima fasum dan fasos itu, setelah ijin diberikan,” katanya.
Selanjutnya, Ahmad Hidayat Staf Ahli Ketua DPRD Kota Surabaya juga mengatakan, bahwa developer pengembang perumahan sangat penting dalam pembangunan Kota Surabaya. Akan tetapi, pihak developer juga harus tunduk dan patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Surabaya.
“Kami menyampaikan pesan dari Ketua DPRD Kota Surabaya, bahwa pintu DPRD Kota Surabaya terbuka lebar. Dan menerima usulan dan mendorong, agar fasum dan fasos diserahkan kepada Pemkot Surabaya, sesuai ketentuan yang berlaku,” katanya.
Diakhir pertemuan, Ahmad Hidayat menawarkan rapat hearing di DPRD Kota Surabaya untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Atas tawaran tersebut, Ketua LBH RKM menyambut baik dan menghargai tawaran Staf Ahli Ketua DPRD Surabaya itu.