TheJatim.com – Pergeseran makna gelar pahlawan nasional kembali mencuat dalam diskusi publik yang digelar Nusantara Policy Lab dan Lab45 di Gedung Soetandyo FISIP Unair, Kamis (20/11/2025). Para pembicara sepakat bahwa gelar pahlawan kini tidak sekadar simbol nasionalisme, tetapi sering bergerak menuju arena kontestasi politik ingatan.
Sejarawan Bonnie Triyana menilai orientasi peringatan Hari Pahlawan berubah cukup jauh. Ia menyebut momentum tersebut kini lebih sering dipakai untuk memperkuat kelompok tertentu, bukan membangun persatuan.
“Hari Pahlawan dulu dijadikan untuk membangun nasionalisme, sekarang justru dijadikan untuk membangun faksionalisme,” ujarnya.
Kepala Lab45 Jaleswari Pramodawardhani menambahkan bahwa munculnya wacana pemberian gelar kepada figur kontroversial seperti Soeharto menunjukkan lemahnya batas moral kepahlawanan. Ia menilai negara belum sungguh-sungguh mendengar suara publik.
“Pembiaran penetapan Soeharto sebagai pahlawan berpotensi menimbulkan normalisasi pemberian gelar ke sosok-sosok ‘Soeharto’ lainnya,” tegasnya.
Sementara itu, akademisi Achol Firdaus melihat persoalan kepahlawanan berada pada dua lapisan, yakni kontestasi ingatan dan standar moral administratif. Ia mempersoalkan kelayakan tokoh yang masih menyisakan rekam jejak pelanggaran HAM.
“Jika ditanya apakah Soeharto layak mendapatkan gelar pahlawan di tengah pertanyaan pelanggaran masa lalu? Tentu saja jawabannya berkaitan dengan kacamata norma HAM yang luas,” jelasnya.
Ia juga menyoroti narasi kepahlawanan Indonesia yang masih maskulin dan belum memberi ruang cukup pada kontribusi kolektif masyarakat.
Direktur Nusantara Policy Lab, Aulia Thaariq Akbar, menawarkan gagasan baru mengenai format kepahlawanan masa depan. Menurutnya, nilai-nilai kepahlawanan akan semakin bertumpu pada kerja bersama, bukan figur tunggal.
“Kepahlawanan hari ini, atau berpuluh-puluh tahun ke depan, akan lebih banyak berupa aksi kolektif daripada individu,” ujarnya.
Diskusi tersebut menegaskan pentingnya memperluas ruang tafsir agar gelar pahlawan nasional tidak terjebak pada kepentingan politik jangka pendek. Para pembicara berharap konsep kepahlawanan tetap menjadi landasan etis yang memandu arah bangsa ke depan.



