Kamis, 9 Oktober 2025
Image Slider

Perludem dan Unair Dorong Kodifikasi UU Pemilu Demi Demokrasi Kuat

Kodifikasi Undang-Undang Pemilu Dinilai Penting untuk Perkuat Representasi dan Kepastian Hukum

TheJatim.com – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bersama Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga (Unair) mendorong percepatan kodifikasi Undang-Undang Pemilu sebagai langkah strategis untuk memperkuat sistem politik yang lebih representatif, transparan, dan demokratis.

Seminar bertajuk “Kodifikasi Undang-Undang Pemilu: Usulan Masyarakat Sipil untuk Perbaikan UU Pemilu” digelar di FISIP Unair, Surabaya, Rabu (8/10/2025). Kegiatan ini menghadirkan perwakilan DPR RI, akademisi, dan masyarakat sipil sebagai forum dialog menuju penyempurnaan sistem kepemiluan pasca Pemilu 2024.

Para narasumber yang hadir di antaranya Dr. Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, S.H., M.H. (Ketua Komisi II DPR RI), Drs. Kris Nugroho, M.A. (Ketua Prodi Politik S2 FISIP Unair), Dr. Mohammad Syaiful Aris (Dosen Fakultas Hukum Unair), dan Heroik Mutaqin Pratama (Direktur Eksekutif Perludem). Acara dimoderatori oleh Puspa Cintanya Djatmiko, S.IP., M.A.

Direktur Eksekutif Perludem, Heroik Mutaqin Pratama, menegaskan bahwa kodifikasi Undang-Undang Pemilu merupakan kebutuhan mendesak untuk memperbaiki tata kelola demokrasi dan memperkuat fungsi representasi rakyat. Ia menilai partai politik harus dibangun menjadi institusi demokrasi yang kuat dan terstruktur, bukan sekadar kendaraan politik pragmatis.

Baca Juga:  Mulai 17 Desember, Polrestabes Surabaya Ketatkan Pengamanan Nataru

“Partai politik yang kuat adalah partai yang punya kendali terhadap calon yang diusung dan konsisten antara janji politik dengan pelaksanaannya di lapangan,” ujar Heroik.

Heroik menjelaskan, usulan masyarakat sipil dalam kodifikasi UU Pemilu mencakup tiga aspek utama: sistem, aktor, dan manajemen pemilu.
Dari sisi sistem, diperlukan penyederhanaan agar tidak terjadi tumpang tindih antara UU Pemilu, UU Partai Politik, dan UU Pilkada.

Dari sisi aktor, perlu ada perlindungan hukum dan ruang partisipasi yang lebih luas bagi pemilih, peserta pemilu, dan pemantau independen.

Sementara dari sisi manajemen, evaluasi penyelenggaraan pemilu disarankan dilakukan setiap satu tahun, bukan lima tahun sekali, agar responsif terhadap persoalan di lapangan.

Baca Juga:  Patroli Besar Gabungan untuk Pengamanan Nataru, Forkopimda Cek Pos Penjagaan

Lebih jauh, Heroik menekankan pentingnya kajian akademik dalam proses penyusunan naskah kodifikasi. Menurutnya, naskah undang-undang yang baik harus sistematis, kritis, dan inklusif terhadap kepentingan demokratis.

“Kodifikasi bukan sekadar menyatukan aturan, tapi memperbaiki cara kita memaknai pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat,” ujarnya.

Dari sisi legislatif, Ketua Komisi II DPR RI, Dr. Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, menyambut baik gagasan tersebut. Ia menegaskan DPR terbuka terhadap dialog konstruktif dengan masyarakat sipil agar revisi undang-undang tidak hanya bernuansa politis, tetapi juga memperkuat integritas demokrasi dan kepastian hukum.

“Kodifikasi adalah langkah penting untuk menata ulang sistem elektoral agar lebih sederhana, efisien, dan selaras dengan prinsip kedaulatan rakyat,” katanya.

Sementara itu, dari kalangan akademisi, Drs. Kris Nugroho, M.A. menyoroti lemahnya hubungan antara pemilih dan calon legislatif. Berdasarkan surveinya, mayoritas pemilih tidak memiliki kedekatan langsung dengan caleg yang dipilih.

Baca Juga:  Wali Kota Surabaya Jelaskan Alasan Pembiayaan Alternatif untuk Infrastruktur

“Ini menunjukkan adanya krisis legitimasi dalam sistem representasi kita. Kodifikasi harus mampu memperkuat akuntabilitas wakil rakyat terhadap pemilih,” jelas Kris.

Senada, Dr. Mohammad Syaiful Aris menilai kompleksitas aturan pemilu yang tersebar di berbagai undang-undang justru menciptakan tumpang tindih regulasi dan beban teknis bagi penyelenggara. Ia mengusulkan agar kodifikasi juga mempertimbangkan sistem Mixed Member Proportional (MMP), yakni gabungan antara sistem proporsional tertutup (50%) dan sistem distrik berwakil tunggal (50%).

“Model ini bisa memperkuat hubungan pemilih dengan wakilnya, sekaligus menjaga stabilitas pemerintahan dalam sistem presidensial,” ungkapnya.

Melalui kegiatan ini, Perludem bersama FISIP Unair berharap proses kodifikasi RUU Pemilu dilakukan secara inklusif dan berbasis riset. Upaya tersebut diharapkan melahirkan sistem pemilu yang lebih sederhana, transparan, dan mencerminkan kehendak rakyat dalam memperkuat demokrasi Indonesia.

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Populer
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Terbaru
ADVERTISEMENT