Thejatim.com – Tiga mahasiswa Blitar yang juga kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sempat diamankan usai membentangkan poster berisi kritik terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Mereka menyinggung isu janji 19 juta lapangan kerja, politik dinasti, hingga dugaan pelanggaran konstitusi.
Insiden ini terjadi saat kunjungan Wapres di Blitar, Rabu (18/6/2025). Alih-alih diberi ruang menyampaikan aspirasi, ketiganya justru diamankan oleh personel Paspampres, kemudian digiring masuk ke sebuah rumah makan.
Ketua PC PMII Blitar, Muhammad Thoha Ma’ruf, menjelaskan bahwa momen tersebut kemudian muncul dalam narasi seolah mereka dijamu makan oleh Wapres Gibran.
“Faktanya, kami dibawa ke rumah makan karena memang lokasi semua orang sedang di sana. Lalu muncul narasi kami dijamu makanan. Padahal itu bukan inti persoalannya,” jelas Thoha kepada TheJatim.com, Sabtu (21/6/2025).
Selama di lokasi, ia mengaku dicecar sejumlah pertanyaan seputar identitas, asal organisasi, hingga motif aksi. Termasuk isi aspirasi yang hendak disampaikan melalui poster.
“Perlu digarisbawahi, menyampaikan kritik ke pejabat publik adalah hak rakyat. Jangan diplintir seolah itu penghinaan,” ujarnya.
Thoha menegaskan, kemasan ‘keramahtamahan’ dalam bentuk jamuan makan tidak bisa menutupi fakta bahwa para kader PMII sempat diringkus dan poster mereka disita.
Ia menyebut tindakan tersebut justru berseberangan dengan semangat Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat.
“Demokrasi bukan berarti semua harus seiya sekata. Justru ketika ada suara berbeda, negara hadir untuk memberi ruang, bukan membungkam dengan protokol yang dibalut sopan santun,” katanya.
Thoha juga menegaskan, PMII Blitar tidak berniat menciptakan kekacauan. Aksi mereka murni menyampaikan aspirasi dengan cara yang damai dan simbolik.
“Mereka yang patut ditanya bukan pembawa poster, tapi mereka yang membungkam kritik dengan wajah ramah,” tegasnya.
Menurutnya, PMII Blitar hanya menjalankan tanggung jawab moral sebagai mahasiswa: menjaga ruang demokrasi agar tidak menyempit di balik retorika formal.