Senin, 27 Oktober 2025
Image Slider

Santri Menembus Ketidakmungkinan

Dalam tradisi pesantren, seseorang yang menyandang status santri maka selamanya menjadi santri.

Oleh: Mohammad Zainul Alim *)

Thejatim.com – Sejak tanggal 22 Oktober 2015, kiprah kaum sarungan yang bernama santri diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui penetapan Hari Santri. Penetapan ini membuat posisi santri dan seluruh elemen yang melekat tak hanya dianggap penting atas jasa para kaum santri dalam membela Tanah Air. Pun juga kiprahnya di berbagai lini kehidupan berbangsa dan bermasyarakat telah menembus sekat-sekat ketidakmungkinan.

Kita tahu, dulu kaum sarungan ini tampil gagah berada di garis depan. Ketika para sekutu hendak merebut kembali Indonesia yang baru merdeka, para santri bergerak melawan. Saat bangsa Indonesia baru menikmati proklamasi kemerdekaan, para santri tak tinggal diam dan bereuforia diam dihadapkan pada ancaman penjajahan.

Dan pada tanggal tanggal 22 Oktober 1945 adalah momentum sekaligus menjadi tonggak sejarah. Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari atau Mbah Hasyim, pendiri Nahdlatul Ulama, mengeluarkan maklumat sakti yang kelak dikenal sebagai Resolusi Jihad. Fatwa ini menyeru seluruh umat Islam, khususnya para santri dan masyarakat pesantren di Jawa dan Madura, untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman penjajahan kembali. Dalam pandangan Mbah Hasyim, mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Negara Republik Indonesia adalah fardu ‘ain, kewajiban mutlak setiap pribadi umat Islam.

Mendengar seruan itu, para santri yang semula berjibaku dengan kitab kuning di bilik-bilik pesantren, keluar dengan semangat jihad fi sabilillah. Mereka menenteng bambu runcing, membawa tekad yang membara. Bukan karena haus darah, melainkan karena cinta tanah air yang berakar pada iman di dada. Ketika pasukan sekutu mendarat di Surabaya dengan dalih melucuti senjata Jepang, para santri memahami bahwa ini bukan sekadar konflik militer, melainkan ujian eksistensial bagi republik yang baru lahir.

Baca Juga:  Tema, Logo, dan Panduan Resmi Peringatan Hari Santri 2025

Para santri berpikir bila penaklukan dimulai dari Surabaya, Indonesia yang baru seumur jagung kala itu mudah ditaklukan. Nyatanya, tentara sekutu mendapat perlawanan sengit. Para santri dari berbagai daerah, beberapa sumber juga menyebut mereka datang dari luar Jawa Timur, berbondong-bondong ke Surabaya. Puncakya pada tanggal 10 Nopember 1945 pecah perang sengit atau perang semesta yang akhirnya membuat sekutu lari tunggang langgang.   

Identitas Santri

Dari berbagai catatan sejarah sebelum kemerdekaan hingga kini, santri ternyata tak hanya berdiam diri berjibaku dengan sederet kitab kuning dan kajian keilmuan di bilik pesantren. Kiprahnya telah mengukir sejarah berbangsa dan bernegara. Saat mereka dibutuhkan negara, tanpa was-was kaum sarungan ini rela mempertaruhkan jiwa dan raga. Kini dengan mudah kita temui kiprah santri menyeruak di pelbagai posisi kemasyarakatan dan kenegeraan; mulai dari ilmuan, bangsawan, teknokrat, hingga kalangan santri bangga  mengenal Gus Dur yang pernah memimpin negara Indonesia kaya ini. Tak hanya di dalam negeri, kiprah santri juga telah mengukir jejaknya hingga ke mencanegara.

Kiprah ini kiranya tak lepas dari identitas santri itu sendiri. Secara umum santri dimaknai seseorang yang belajar ilmu pengetahuan di sebuah asrama yang selanjutnya disebut sebagai pesantren. Para santri ini belajar ilmu pengetahuan, utamanya agama dengan tradisi kitab kuningnya. Mereka rela jauh dari orang tua dan menjadi pembalajar yang “dikarantina” untuk sekian tahun lamanya. Ternyata tak hanya ilmu agama, pelbagai disiplin ilmu dapat mereka pelajari di pesantren. Mereka juga melakukan internalisasi ilmu agama ke dalam laku keseharian, menempa akhlak dan perilaku yang baik di bawah bimbingan guru atau kiai. Di pesantren, santri juga belajar kesabaran, keikhlasan, kemandirian, dan tanggung jawab.

Baca Juga:  Catatan untuk Santri di Hari Santri

Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid pernah mengatakan bahwa santri tidak hanya belajar tentang ketaatan dan pendidikan agama, tetapi bagaimana mereka terbentuk/membentuk diri sebagai individu yang bermanfaat bagi sesama dan berani melakukan lompatan pemikiran dengan tetap berpegang pada nilai-nilai universal ahlussunnah wal jamaah seperti kitab suci Al-Qur’an, hadits, iama’, dan salafus saleh. Intinya menjadi santri kata Gus Dur, adalah menjadi manusia yang bermanfaat; khairunnas anfa’uhum linnas (sebaik-baik manusia adalah yang paling beramnfaat bagi manusia lain). Dan ini adalah tugas kita bersama sebagai manusia.

Santri Global

Dalam tradisi pesantren, bila seseorang telah menyandang status sebagai santri maka selamanya menjadi santri. Karena di dalam jiwa santri, menjadi apa pun akhirnya saat dewasa, adalah sebagai penyambung dakwah dan risalah Nabi Muhammad Saw. Sekali terpatri “santri” di dalam jati diri seseorang, laki-laki atau perempuan, selamanya akan melekat tanggung jawab dan komitmen meneruskan ajaran kiai. Santri hari ini adalah santri yang mampu beradaptasi dengan modernitas tanpa meninggalkan tradisi dan komitmen memperjuangkan, meminjam istilah Kuntowijoyo, nilai-nilai profetik yang adil, damai, dan memanusiakan manusia di tengah-tengah masyarakat.

Baca Juga:  Logo Hari Santri Nasional 2024 Resmi Diluncurkan

Selanjutnya, di tengah derasnya arus globalisasi dan disrupsi teknologi, santri dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana menjadi “santri global”. Santri global bukan berarti meninggalkan pesantren, tetapi membawa nilai-nilai pesantren ke ranah global. Jika kita mengaku sebagai santri atau pernah mengenyam pendidikan di lingkungan pesantren, maka menurut saya wajib menjaga dan menebarkan sikap-sikap sebagaimana santri di mana pun kita berada. Santri global harus mampu berbicara dengan bahasa dunia, tanpa kehilangan bahasa hati. Santri global harus menguasai teknologi dan sains, tanpa kehilangan zikir dan adab.

Hal ini barangkali selaras dengan salah satu prinsip yang dipegang teguh oleh kalangan pesantren; al-muhafadhatu ‘ala al-qadim ash-shalih wal akhdu bil jadidi al-ashlah — menjaga tradisi lama yang baik sambil mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Prinsip ini dapat menjadi nalar santri sehingga bisa beradaptasi terhadap segala perubahan zaman, tanpa kehilangan akar nilai dan spiritualitasnya.

Untuk itulah, santri masa kini dituntut menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas. Mereka tidak boleh hanya menjadi penonton dari perubahan zaman, tetapi harus menjadi pelaku yang memberi arah pada perubahan. Dalam konteks ini, santri bukan hanya penjaga moral bangsa, tetapi juga agen inovasi sosial dan kebudayaan. Melalui peran dan tanggung jawab yang melakat padanya, santri hari ini dapat menembus sekat ketidakmampuan yang masih dianggap sebagai wajah tradisionalitas.

*) Mohammad Zainul Alim, Pimpinan Pondok Pesantren Aqidah Usymuni Sumenep sekaligus pengurus PC GP Ansor Sumenep.

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Baca Juga
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Terbaru
ADVERTISEMENT