*Oleh Mahbub Djunaidi, 10 Januari 1988
TheJatim.com – SAYA bebas memilih untuk tulisan awal tahun ini. Misalnya, saya bisa menulis ihwal Titick Puspa yang bermalam tahun baru bersama Mus Mualim di Bumi Sangkuriang Bandung. Ia lucu dan enak sekali membuai hadirin, tak salah kalau pembawa acara Sambas menyebutnya “artis yang memiliki showmanship luar biasa”. Dan Titiek seakan tak berubah dari tahun ke tahun. la seperti terbuat dari kuningan. Begitu waktu Titiek menyanyi lagu Bung Karmo Siapa yang Punya di istana Bogor tahun 60-an, begitu pula waktu membawakan lagu ciptaannya Kepada Bapak Soeharto, Titiek tetap indah, pas segala-galanya, tidak ada baut yang copot. Titiek mengingatkan saya kepada penyanyi legendaris Mesir Ummu Kalsum, yang menyanyi baik untuk raja Farouk maupun untuk Gamal Abd. Nasser, dengan suara yang sama cantiknya. Bangsa Arab yang cerai berai itu hanya bersatu dalam dua hal saja: menganggap Israel itu lawannya dan menganggap Ummu Kalsum penyanyi pujaannya. Selebihnya mereka berantakan ibarat kelereng berguncang dalam kaleng susu.
Tapi, saya juga bisa memilih menulis tentang tajuk rencana Kompas yang muncul tanggal 2 Januari 88. Sebagaimana biasanya, tajuk koran itu – walau sedikit sukar dikunyah – bagus belaka. Khusus ketika terbaca kutipan George Washington: “Kau selama ini mengalami hidup enak, karena itu sekaranglah gilirannya jalan terjal. Kau mewarisi pengorbanan orang-orang pemberani, yang basah oleh keringat, air mata dan darah, akan tetapi kau masa bodoh dan tak menentu. Maka, sekaranglah waktunya kau merebut warisan itu dengan kebajikan dan kepahlawanan. Untuk setiap hak yang kau dambakan, kau punya kewajiban yang harus kau penuhi. Untuk setiap harapan yang kau buat, kau harus melaksanakan kewajiban. Untuk setiap hal yang kau inginkan, kau harus mengorbankan kenangan dan keenakan. Tidak ada lagi yang datang begitu saja. Tidak mungkin, hanya sekedar untuk menyenangkan rakyat kita menawarkan sesuatu yang kita sendiri tak dapat menyetujuinya. Marilah kita kibarkan standar yang dapat diperbaiki oleh mereka yang arif dan jujur”.
Kendati kalimat-kalimat itu tertuju kepada bangsa Amerika, tapi saya kira juga mengena kepada siapa saja yang merasa jadi pewaris dari karya perjuangan besar yang dilakukan oleh para pendahulu, para perintis dan pejuang kemerdekaan, mereka yang masuk bui dan dibuang demi cita-cita, mereka yang dengan kepala tegak menaiki tiang gantungan kolonial, mereka yang melepas nyawa untuk kebebasan negeri. Masalahnya sekarang, masih adakah yang disebut orang-orang pemberani itu?
ADA. Sedikitnya begitulah bunyi tulisan di koran ini pula tanggal 2 Januari 1970, mengawali tahun baru 18 tahun yang lalu. Waktu itu koran ini sembari memperingati 20 tahun usia koran Indonesia Raya, yang dijulukinya sebuah koran crusader yang menyerang kebatilan dan kelaliman secara demonstratif, juga berbicara panjang mengenai demokrasi. Kami tidak setuju dengan orang yang mengatakan bahwa demokrasi sudah ada di desa. Kami lebih setuju dengan Karl Wittfogel yaitu bahwa di desa kita yang mencolok justru adalah despotisme. Juga di kota. Yang paling kurang despotisme penguasanya mungkin di Jakarta, tapi di sini pun ada. Lawan despotisme adalah hak asasi manusia. Di negara berkembang tak dapat diharapkan bahwa salah yang akan menanamkan gagasan hak asasi manusia itu dalam jiwa rakyat, kecuali beberapa gelintir penguasa seperti pemimpin kepolisian kita Pak Hugeng.
Yang dapat menanamnya adalah tenaga-tenaga di luar kalangan penguasa, seperti Lembaga Hak-hak Asasi Manusia, gabungan profesi intelektual seperti Peradin, dan pers. Untuk melawan despotisme dalam kalangan penguasa, kalangan pemerintahan, kalangan kepolisian, kalangan kejaksaan, kalangan perusahaan negara, dibutuhkan oleh pers keberanian yang besar. Keberanian ini mutlak perlu. Tanpa itu tidak mungkin melenyapkan despotisme, feodalisme, nepotisme. Orang-orang Indonesia yang cerdik pandai tak terhitung banyaknya. Yang kurang ialah yang berani dan penuh integritas.
Mochtar Lubis (pimpinan koran Indonesia Raya) demikianlah orangnya. Semoga ia dapat memimpin Indonesia Raya paling sedikit 20 tahun lagi. Apa ini tidak mungkin? Lihat J.L. Garvin yang memimpin The London Observer selama 38 tahun dan meninggal dalam usia 79 tahun. Lihat G.P. Scott yang memimpin The Manchester Guardian selama 57 tahun dan meninggal dalam usia 84 tahun.
BEGITULAH yang terbaca di koran ini tulisan PK Ojong tanggal 2 Januari 1970, memasuki tahun baru. Sudah banyak yang terjadi sejak saat itu hingga sekarang. Misalnya, PK Ojong sendiri sudah berpulang tanggal 31 Mei 1980, orang yang menu- rut rekannya, Jakob Octama, amat kritis terhadap tiap bentuk kekuasaan, penganjur rule of law bukan rule of men yang senantiasa mengaitkan kekuasaan dengan pelayanan kepada masyarakat harus diberi keleluasaan untuk ajukan pengaduan lewat sistem ombudsmen yaitu suatu lembaga independen yang mempunyai wewenang memeriksa pengaduan tentang penyalahgunaan oleh pemerintah dan aparaturnya. Dan bukan saja PK Ojong sudah tiada, juga koran Indonesia Raya juga sudah tiada. Tak kesampaian harapan agar koran itu bisa hidup subur sedikitnya untuk 20 tahun lagi.
Yang masih tetap ada adalah masalahnya. Yang masih tetap perlu adalah munculnya koran-koran crusader yang senantiasa menyerang ketidakadilan dan tiap bentuk kelaliman. Yang masih tetap perlu ada adalah pengikisan tiap bentuk despotisme baik di desa maupun di kota, demi tegaknya hak asasi manusia secara lebih mulus dan tidak terganggu. Yang masih tetap perlu ada adalah suatu kekuasaan yang berdiri tegak di atas rule of law dan bukan rule of men, sehingga tiap warga dapat tidur sebagaimana mestinya. Dalam hubungan ini, tak lain dari sekjen Golkar Ir Sarwono Kusumaatmadja sendiri yang menganggap memang masalah kekuasaan ini mesti senantiasa dipertanyakan, apakah dia memang tetap sesuai dengan keinginan yang diperintah.