*Oleh Mahbub Djunaidi, 17 JULI 1988.
TheJatim.com – TIAP KTP punya baris “pekerjaan” yang mesti diisi. Seorang Dirjen akan dengan mantap mengisinya karena yakin betul tiap orang mafhum belaka makhluk apakah dirjen itu. Seorang makelar pun sekarang ini tidak usah kikuk mencantumkan profesinya, karena dunia makelar pun sudah sah jadi penunjang pembangunan seperti halnya juga komisioner. Sekarang, apa yang harus diisi seorang penganggur yang banyak sekali jumlahnya di negeri ini? Demi harga diri dan demi supaya tidak dicurigai, mustahil seorang penganggur mengisi apa adanya dalam KTP. Karena jenis pekerjaan mesti jelas tercantum, maka apa yang mesti ditulis oleh penganggur yang tidak punya pekerjaan?
Biasanya mereka isi dengan perkataan “swasta” atau “wiraswasta”. Saya berani bertaruh, tidak ada penganggur yang berterus terang menulis apa adanya. Selain demi harga diri dan demi jangan dicurigai, juga mereka menghindar dari mengaku penganggur itu karena merasa kurang enak kepada pihak pemerintah, takut dianggap menyindir. Mengapa menyindir? Karena bunyi pasal 27 UUD berbunyi “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Jika seorang penganggur mengaku terus terang keadaannya, apa itu bukannya bisa dianggap menyindir, seakan-akan pemerintah sudah tidak mampu menyediakan pekerjaan yang layak?
Hal serupa juga dialami oleh para pengemis. Jika pemerintah berpegang teguh secara murní dan konsekwen pada bunyi pasal 34 UUD yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” maka tidak mungkin bergelombang- gelombang pengemis masuk kota. Anehnya, ada kotamadya yang mengancam akan merazia dan menangkap pengemis. Apakah memang pantas dipersoalkan kenapa sampai melalaikan pasal 34 UUD itu hingga berdasar Pancasila ini bila orang diperbolehkan sekaya-kayanya, tapi para fakir miskin malahan diuber-uber?
PEKERJAAN Dirjen orang tahu. Begitu juga makelar atau komisioner. Bahkan profesi dukun pun orang paham. Tapi profesi “kolumnis” masih asing dan belum banyak yang maklum. Jika saya mencantumkan perkataan “kolumnis” sebagai jenis pekerjaan, banyak orang bertanya-tanya binatang apa sih kolumnis itu? Kolumnis itu bagian pekerjaan malam apa siang? Bahkan ada yang bertanya, apa beda antara kolumnis dengan komunis? Tentu beda. Komunis itu sudah musnah sedangkan kolumnis itu masih ada, setidaknya sampai hari ini. Perkara besok akan lenyap juga, nantilah kita lihat saja.
Apa yang ditulis kolumnis itu memang fakta? Bisa fakta dan bisa juga bukan fakta. Sebab, jika semua fakta mesti ditulis secara terbuka dan apa adanya, dalam tempo tiga hari dunia ini akan terbolak-balik. Bahwa koran mesti menyiarkan yang faktual, itu benar. Tapi tidak semua fakta layak disiarkan. Sebab, apa jadinya jika semua fakta disiarkan oleh koran? Apa jadinya jika korupsi mulai teri hingga kakap dibeberkan apa adanya?
Saya punya contoh, bagaimana seorang kolumnis menulis bukan atas dasar fakta, melainkan imajinasinya yang diharapkan bisa ditarik manfaatnya oleh pembaca. Misalnya kolumnis Ajip Rosidi yang sudah bertahun-tahun bermukim di Jepang. Dalam Kompas terbitan 6 Juni 1986, ia menurunkan tulisan berjudul Sendok, Garpu dan lain-lain. Tulisan itu menyebut ihwal makanan, cara makannya, apa pakai sendok apa pakai sumpit, apakah itu makanan Jepang atau Barat.
Sebagai seorang yang kenal baik Ajip Rosidi, saya tahu persis la sama sekali bukan gastronom, bukan pakar makan memakan, bahkan mirip pun tidak. la bukan tukang makan, melainkan tukang telan apa saja yang lewat di depan hidung. Bagaimana mungkin seorang awam makanan seperti Ayip berani menulis artikel ihwal makanan, kalau bukan semata-mata atas dorongan imajinasinya? Bagaimana mungkin seorang yang tidak bisa membedakan mana kroket dan mana combro mampu menulis soal makanan? Ini sama saja anehnya dengan orang asal Indihiang yang berdiam di kaki Gunung Galunggung bicara soal taman laut dan rahasia samudera.
Saya punya kisah pribadi yang mendukung pendapat saya. Pada tahun 1982 saya mampir di Kyoto naik kereta api, Ayip Rosidi persis menunggu di pintu gerbong. Sesudah bersalam-salaman sebagaimana layaknya, sesudah tanya ihwal masing-masing dan bertanya ihwal Tanah Air yang saat itu menjelang saat pemilu, Ayip pun berbaik hati menawarkan apa saya mau makan siang, dan makanan apa yang saya sukai.
Saya bilang, memang saya belum makan, dan makan apa pun jadilah. Sukiyaki boleh, steak Kobe pun jadi, pokoknya asal cepat. Maka Ayip pun mengajak berjalan kaki masuk keluar lorong, ada barangkali satu jam sehingga bukan saja perut makan lapar, tapi kaki pun sudah kaku. Di dalam hati saya berpikir, kok kota semacam Kyoto yang cukup besar itu, susah betul cari restoran?
Sesudah kaki tidak kuat lagi melangkah, tahulah saya bahwa Ayip sebetulnya tidak tahu persis, di mana letak restoran yang menjual makanan saya sebut itu, bahkan Ayip malahan tidak bisa baca huruf Kanji, tentu saja ia tidak bisa membedakan mana restoran dan mana toko potret.
Sesudah tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan, saya pun pasrah dan mengusulkan supaya makan makanan apa saja yang tampak oleh mata. Maka, kami pun menghampiri depot penjual hamburger, makanan yang bisa ditemui siapa saja dengan mudah, baik oleh nenek-nenek maupun orang buta.