Thejatim.com – Mbah Maimoen menjelaskan kepada saya itu sederhana. “Kamu harus mengajar ngaji seperti ini, kalau pidato mubaligh itu setengah seperti bekerja, karena dapat uang.” Jadi, Mbah Moen mengatakan bahwa pidato mubaligh itu ada setengah bekerja, karena mendapatkan imbalan (uang) langsung. Kalau ngaji yang ikhlas, ya seperti ini.
Makanya saya minta, ngajilah seperti ini, dan tidak usah sowan. Sowan itu kalau model orang Jawa Timur kalau tidak memberi salam tempel tidak lega. Ribet jadinya. Pokoknya kalau ngaji ya ngaji. Saya ya latihan ikhlas, dan Anda juga latihan ikhlas. Pokoknya harus ikhlas. Tidak usah minta untuk dihormati dan disambut.
قَالَ يٰقَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِيْنَ. اِتَّبِعُوْا مَنْ لَّا يَسْئَلُكُمْ اَجْرًا وَّهُمْ مُّهْتَدُوْنَ
Artinya: “Dia berkata, Wahai kaumku, ikutilah para rasul itu! Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan (dalam berdakwah) kepadamu. Mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Yasin: 20-21)
Jadi definisi rasul adalah orang yang menyampaikan amanat (risalah) Allah. Tapi dalam surat Yasin, tidak hanya demikian. Rasul itu siapa? ialah orang yang tidak minta upah. Ayat itu tamparan bagi kita semua yang biasa membaca surat Yasin, agar jangan berharap imbalan.
Jadi Allah itu begitu pintarnya. Semua itu ada etikanya. Kalau sudah berani jadi kiai itu, maka harus berani tidak meminta imbalan. Soal kamu butuh uang, ya memang wajar sebagai manusia pasti butuh biaya untuk hidup. Bisa sambil berdagang atau bertani bagi yang punya sawah atau ladang.
Saya maklumi jika ketika menanam tidak ikhlas, karena ingin panen, dan ketika dijual ingin untung. Tapi kalau ketika ngaji, ya yang ikhlas. Tidak usah ingin saya perhatikan, karena saya pun tidak ingin kamu perhatikan, saya sudah asyik dengan Allah.
Saya malah janggal dengan orang yang tidak ikhlas. Kan enak hidup dengan Allah daripada dengan makhluk yang tidak jelas, tidak membahayakan dan tidak memberi manfaat. Apalagi kalau sama yang banyak membahayakan daripada manfaatnya. Kalau tidak membahayakan dan tidak memberi manfaat, itu masih baik. Tapi kalau malah membahayakan dan tidak memberi manfaat? Jadi hidup ikhlas itu harus dilatih, kalau perlu paksalah.
Singkat cerita ada santri yang bertanya, “Gus, saya tadi jadi makmum di masjid ini, imamnya itu begini begini, dia seperti tidak ikhlas.”
Lalu saya nasihati, “Kamu itu shalat karena Allah apa karena imam? Jika shalatmu memang niat sujud kepada Allah, ya walaupun yang jadi imam juara MTQ atau Parmin, ya sama saja. Asalkan menghadap kiblat dan baca Fatihahnya benar. Apa kalau yang jadi imam itu pernah juara MTQ seakan-akan pasti diterima shalatnya?”
Seakan-akan Allah seperti diteror. Masak imamnya juara MTQ tidak diterima? Tidak usah begitu, kalau shalat ya shalat saja yang ikhlas. Sampai kamu ingat imamnya itu begini begini, sebenarnya kamu itu ingat Allah apa ingat imam?
Saya shalat dimana pun ketika jadi makmum tidak pernah sekalipun komplain. Karena shalat itu untuk mengingat Allah. Shalat kok jadi seperti juri yang menilai imam.
Jadi, ikutilah orang yang tidak meminta imbalan (dalam berdakwah) kepadamu. Terkadang ada yang nakal mentakwil, “Itu untuk nabi, berhubung kita bukan nabi, ya tidak apa-apa.” Ketika diceritakan ada ulama yang ikhlas disanggah lagi, “Itu kan ulama dahulu!” Jadi ada saja takwilannya.
Bedanya apa antara ulama dulu dengan sekarang? Ulama dulu, ya hamba Allah dan terkena aturannya. Dan ulama sekarang juga terkena aturan Allah, jadi sama saja. Bahkan pendakwah dulu musuhnya lebih berat dari PKI hingga penjajah Belanda, dipukuli bahkan diusir. Pada zaman sahabat tantangannya lebih berat hingga mati dibunuh seperti sahabat Umar dan Usman radhiyallahu anhum. Kalau pendakwah itu musuhnya dengan tetangga yang hasud sedikit, paling tantangannya digunjing di media sosial.
Pokoknya ikhlas itu dilatih, karena kita tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya. Berani ngaji, shalat dan sedekah dengan penuh keikhlasan. Bahkan jadi orang bodoh juga ikhlas menerima takdir Allah, “Saya ridha engkau Tuhanku, Gusti. Saya bodoh juga Engkau yang membuat.”
Jika engkau ingin pintar, maka sepantasnya mau belajar dan ngaji, untuk menghilangkan kebodohan. Kalau tidak mau ya terserah. Sudah terlanjur ikhlas dengan kebodohan permanen.
*Disadur dari pengajian KH Bahauddin Nursalim atau Gus Baha.