TheJatim.com – Rencana pemerintah untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto menuai kritik dari kalangan mahasiswa. Aliansi BEM Surabaya menilai langkah tersebut berpotensi menodai ingatan sejarah bangsa dan mengabaikan penderitaan korban pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.
Presiden Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) sekaligus Koordinator Umum Aliansi BEM Surabaya, Nasrawi, menyebut keputusan tersebut ibarat “menutup luka sejarah dengan plester bernama gelar pahlawan”.
“Pemberian gelar ini seperti menyemprotkan disinfektan untuk menutupi bau luka lama. Bukan menyembuhkan, tapi menutupi,” ujar Nasrawi dalam keterangan tertulis yang diterima TheJatim.com, Minggu (9/11/2025).
Menurutnya, usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto memperlihatkan adanya “amnesia kolektif” dalam memori bangsa. Ia menyebut sebagian pihak tampak lebih nyaman melupakan masa kelam ketimbang menghadapi kenyataan sejarah dengan jujur.
“Dalam dunia medis, luka yang tidak dibersihkan akan infeksi. Begitu juga sejarah bangsa ini. Luka 1965-66, represi politik, dan pembungkaman kebebasan belum pernah benar-benar dijahit,” katanya.
Nasrawi menilai, gelar pahlawan seharusnya diberikan kepada sosok yang meneguhkan keteladanan moral dan kejujuran sejarah. Ia menyoroti bahwa penghargaan tanpa proses audit sejarah dan dialog publik hanya akan menjadi kosmetik politik.
“Kalau ukuran kepahlawanan hanya berdasarkan pembangunan jalan dan stabilitas, maka kontraktor pun bisa disebut pahlawan,” ujarnya menyindir.
Mahasiswa tersebut juga mengkritik cara pemerintah menutup ruang evaluasi terhadap masa lalu. Menurutnya, bangsa ini sedang kehilangan keberanian untuk menghadapi kebenaran sejarahnya sendiri.
“Kita seperti pasien yang menolak rawat jalan. Begitu luka dibuka, langsung menjerit, ‘Jangan dibahas!’ Padahal luka harus dibersihkan agar sembuh,” tegas Nasrawi.
Ia menambahkan, jika bangsa terus menutupi luka sejarah dengan gelar kehormatan, maka makna Hari Pahlawan akan pudar.
“Hari Pahlawan bukan lagi hari mengenang keberanian, tapi hari kehilangan ingatan. Day of National Amnesia,” ungkapnya.
Bagi Nasrawi, pahlawan sejati bukanlah mereka yang mendapat gelar, melainkan sosok yang berani menghadapi kenyataan dan memperjuangkan keadilan meski penuh risiko.
“Jika sejarah adalah pasien, maka bangsa ini sedang kambuh akut. Antibiotiknya adalah keberanian untuk jujur,” tutupnya.
Rencana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dikabarkan akan diumumkan bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, Senin (10/11/2025). Usulan tersebut telah dibahas oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan bersama kementerian terkait.
Namun hingga kini, sejumlah kalangan sipil dan akademisi masih mempertanyakan kelayakan pemberian gelar tersebut, mengingat catatan sejarah yang masih menyisakan kontroversi dan luka bagi korban pelanggaran HAM masa Orde Baru.



