Oleh: H Musaffa Safril, Ketua PW GP Ansor Jatim
Musim gugur menyambut kami dengan udara yang sejuk dan langit Eropa yang teduh. Langkah demi langkah terasa ringan menyusuri jalanan sunyi menuju sebuah desa kecil bernama Baambrugge, di pinggiran Amsterdam. Di balik agenda resmi yang kami jalani, tersimpan misi yang jauh lebih besar: menyuarakan pendidikan, kemanusiaan, dan kemerdekaan Palestina dari sudut kecil benua Eropa.
Baambrugge menyambut kami dengan ketenangan khas pedesaan. Di tepi jalan, pepohonan musim gugur bergoyang pelan terkena semilir angin, sementara dedaunan keemasan berguguran seolah menyambut kedatangan kami.
Di depan sebuah rumah tua yang kini menjadi stasiun VOKS Radio Amsterdam, mengalir sungai jernih yang tenang dengan bendera Merah Putih berkibar di seberang sungai. Perahu-perahu kecil tertambat rapi di tepinya, seakan menyimpan kisah panjang peradaban Eropa yang berjalan tanpa tergesa. Bangunan bersejarah itu konon dulunya milik seorang menteri Belanda. Kini, dari dinding-dinding tuanya, suara diaspora Indonesia memancar ke berbagai penjuru dunia.
Di tempat yang damai itulah saya bersama seorang sahabat Dr Abdulloh Hamid, Ketua Ansor University Jawa Timur, didampingi Mas Dawam, Ketua Pimpinan Cabang Istimewa GP Ansor Belanda, berbincang hangat dalam sebuah talkshow radio diaspora. Kedatangan kami di Belanda dalam rangka menghadiri Biennial International Conference oleh PCINU Belanda. Namun di sela-sela rangkaian kegiatan konferensi yang padat, kami menyempatkan diri memenuhi undangan sahabat-sahabat diaspora di VOKS Radio Amsterdam untuk berdialog tidak hanya tentang organisasi, tetapi juga tentang masa depan kemanusiaan.
Percakapan dimulai dari perjalanan panjang Gerakan Pemuda Ansor sebagai gerakan sosial-keagamaan yang lahir dari semangat kebangsaan dan pengabdian. Kami menceritakan bagaimana Ansor University menjadi bagian penting dari misi tersebut, membuka akses pendidikan yang lebih luas bagi generasi muda melalui pendidikan vokasi, mentoring, hingga peluang beasiswa. Semua itu merupakan ikhtiar kami menyiapkan kader muda yang religius, nasionalis, berdaya saing global, dan siap berkhidmat kepada masyarakat.
Namun, obrolan kami tak berhenti di sana. Tema besar yang tak mungkin terlewat adalah Palestina. Di udara yang sejuk itu, saya menyampaikan dengan tegas bahwa kemerdekaan Palestina adalah sebuah keniscayaan. Apa yang terjadi di sana bukan lagi sekadar konflik, melainkan genosida yang terstruktur, luka kemanusiaan yang tidak boleh didiamkan dunia.
Kami kembali mengingatkan amanat luhur yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945: “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.”
Kalimat itu bukan hanya dasar berdirinya Republik Indonesia, tetapi juga pesan moral universal yang seharusnya menjadi kompas bagi setiap bangsa. Maka bagi kami, mendukung Palestina lebih dari sekadar solidaritas keagamaan. Ini tentang kemanusiaan yang sejati, tentang keberanian menyebut yang zalim sebagai zalim, dan tentang keyakinan bahwa tidak ada satu pun bangsa yang layak hidup di bawah penjajahan.
Sore itu, setelah siaran usai, kami keluar dari rumah tua tersebut dengan hati penuh kesan. Di depan mata, perahu-perahu kecil masih tertambat diam di sungai jernih. Pepohonan terus bergoyang terkena angin musim gugur, hujan turun tiba-tiba lalu reda tiba-tiba, dan di beberapa balkon rumah warga Amsterdam, bendera Palestina berkibar dengan tenang. Semua pemandangan itu menjadi pengingat kuat bahwa perjuangan kemanusiaan tidak pernah mengenal batas geografis.
Dari sebuah rumah tua di Baambrugge, jauh dari tanah yang terjajah suara kecil tentang keadilan bergema menembus batas-batas dunia. Dan dari perjalanan singkat ini, saya kembali belajar satu hal penting: selama penjajahan masih ada di muka bumi, tugas kita untuk menegakkan kemanusiaan belumlah usai. (*)