Thejatim.com – Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin (memberi rahmat bagi seluruh alam). Setelah beriman, seorang muslim dianjurkan untuk selalu beramal baik. Hal itu sebagai perwujudan atas keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Berbagai ayat Al-Qur’an dan hadits menjelaskan tentang keutamaan dan pentingnya beramal saleh setelah seseorang beriman. Bukan hanya saleh dalam beragama Islam sebagai abid (ahli ibadah), tapi juga saleh terhadap sesama manusia (saleh sosial), walaupun berbeda agama.
Tapi kalau ada abid (ahli ibadah) yang kurang alim (berilmu) tapi berani berfatwa, saya itu geregetan sekali. Kalau hanya jadi ahli ibadah, ya tidak usah berfatwa. Karena fatwa mereka punya resiko besar bagi agama ini.
Maka betul kata Sayyidina Ali karramallahu wajhah:
فَسَادٌ كَبِيْرٌ عَالِمٌ مُتَهَتِّكُ – وَاَكْبَرُ مِنْهُ جَاهِلٌ مُتَنَسِّكُ
Artinya: “Kerusakan besar yaitu orang yang berilmu tapi fasik (gemar maksiat), dan kerusakan lain yang lebih besar adalah orang yang bodoh namun tetap bersikukuh menjalankan ibadah dalam kebodohannya.”
Para para ahli ibadah kalau berfatwa cenderung begini: “Pokoknya orang baik itu harus steril.” Orang yang jelek seolah tidak boleh berbuat baik. Masalahnya dia pernah berbuat keburukan. Itu kalau difatwanya terus bisa meruntuhkan agama. Itu sama dengan mengatakan: “Orang yang pernah berzina tidak usah jadi orang baik. Pernah mencuri tidak usah jadi orang baik.”
Tapi orang saleh yang alim fatwanya tidak begitu: “Kebaikan itu tidak akan dilarang sampai hari kiamat. Karena kebaikan itu bisa disebut al-masyru’ (sesuatu yang disyariatkan).”
Maka jangan jadi abid yang suka berfatwa, kalau mau ibadah ya ibadah yang istiqamah saja, tidak usah berfatwa tanpa dasar ilmu agama yang kuat. Karena sekali berfatwa bisa berakibat buruk, terkadang fatwanya itu sangat ngawur.
Sebuah Contoh Kasus
Sekarang lihat saja di Jakarta, berapa mantan preman yang jadi kiai. Itu membuat agama ini bisa berjalan dan diterima di berbagai tempat.
Ada mahasiswa yang dulu suka pacaran dan playboy, ketika taubat jadi kiai, itu bisa terjadi. Setelah taubat, lalu ikut meramaikan agama. Ada juga yang mondok tapi cuma tiduran aja saat ngaji, ternyata bisa jadi kiai. Ya, damai saja jangan ribut.
Orang yang pernah bercerai, pidato di pernikahan tentang mawaddah wa rahmah. Damai saja jangan protes. Padahal dia sendiri pernah bercerai. Masak hanya karena pernah bercerai lalu pidatonya, “Tidak apa-apa bercerai, saya juga pernah.” Tidak mungkin seperti itu, ajaran macam apa?
Tanpa banyak pikir berpidato, “Pokoknya orang menikah itu harus mawaddah wa rahmah. Insyaallah hidupnya berkah.”
Saat pidato seperti itu, ternyata masyarakat juga lupa akan masa lalu kiai. Tapi karena kita yakin akan betapa luasnya hamparan kebaikan atau rahmat Allah. Jadi, perkataan baik oleh orang yang biasanya urakan (preman), itu berangkat dari nur di dalam hati. Sebagai informasi, bahwa perbuatan maksiat manusia itu tidak akan membahayakan rahmat Allah.
Jadi, saya kadang merenung kenapa orang-orang yang nakal macam Sayyidina Umar bin Khatthab dan Khalid bin Walid yang dahulu sangat memusuhi Nabi, tapi jika Allah berkehendak mensucikan maka akan jadi suci, bahkan bisa jadi khalifah dan jadi orang terbaik sedunia.
*Disadur dari pengajian KH Bahauddin Nursalim atau Gus Baha.



