Thejatim.com – Sifat tamak adalah sifat rakus dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimiliki dan selalu berharap diberi yang lebih. Secara bahasa, tamak berarti “rakus hatinya”. Dalam istilah agama, tamak adalah kecintaan yang berlebihan terhadap dunia (harta) yang mendorong seseorang untuk menghalalkan segala cara untuk memuaskannya, seperti mencopet, mencuri, merampok, bahkan hingga melakukan korupsi.
Syekh Ibnu ‘Atha’illah berkata dalam Al-Hikam:
لَا تَمُدَّنَّ يَدَكَ إلَى الْأَخْذِ مِنَ الْخَلَائِقِ إِلَّا أَنْ تَرَى أَنَّ الْمُعْطِيْ فِيْهِمْ مَوْلَاكَ. فَإِذَا كُنْتَ كَذلِكَ فَخُذْ مَا وَافَقَكَ الْعِلْمِ.
Artinya: “Jangan mengulurkan tanganmu untuk menerima sesuatu dari pemberian makhluk kecuali engkau merasa bahwa yang memberimu itu sebenarnya adalah Tuhanmu. Jika engkau telah demikian, maka ambillah apa yang sesuai dengan pengetahuanmu.”
Jangan mengulurkan tangan untuk menerima pemberian makhluk berupa harta dan lainnya, kecuali jika telah memenuhi dua syarat, maka kamu boleh mengambilnya. Pertama, kamu berkeyakinan bahwa Dzat yang memberi adalah Allah. Jangan meyakini yang memberimu adalah makhluk, mereka hanya menjadi sebab lahirnya pemberian Allah. Keyakinan yang seperti ini tidak cukup hanya diketahui, tapi harus disertai kemantapan hati bahwa yang memberi hanya Allah semata.
Kedua, syaratnya adalah setelah engkau meyakini bahwa yang memberi adalah Allah, maka ambillah apa yang sudah jelas engkau ketahui dan butuhkan, baik secara syariat maupun hakikat. Mengambil bagian hanya dari orang yang mukallaf, yang tidak mengandung syubhat, dan untuk tujuan menolong, misalnya hanya mengambil sebatas memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga.
Namun jangan terlalu berlebihan dalam hal memberi nafkah, makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Jangan mengambil sesuatu yang tidak engkau butuhkan, atau mengambil yang berlebihan, dan jangan mengambil dari orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian.
Janganlah kamu mengharap pemberian makhluk, kecuali jika kamu yakin bahwa yang memberi adalah Tuhanmu. Selama kamu merasa yang memberimu adalah makhluk, maka jangan diambil, sampai kamu yakin bahwa itu pemberian Allah. Jika kamu sudah yakin dan sadar bahwa Tuhanmu lah yang memberi, maka ambillah sesuai dengan ilmu pengetahuanmu (sesuai syariat dan menjadi kebutuhan).
Jadi begini, misalnya saya diberi sesuatu oleh orang. Syarat boleh menerima adalah yakin bahwa itu rezeki dari Allah, jika kamu menganggap itu rezeki dari makhluk, kamu bisa saja jadi musyrik. Nah, ini penting dilatih, memang berat, tapi penting dan perlu dilatih.
*Disadur dari pengajian KH Bahauddin Nursalim atau Gus Baha.



