Thejatim. Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPH-PGI) menerima kunjungan silaturahim Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Grha Oikoumene, Jakarta, pada Jumat (9/6/2023).
Kunjungan dipimpin Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir. Turut serta pula Sekretaris Umum Abdul Mu’ti, Ketua PP Muhammadiyah Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, M. Si, dan Sekretaris H. M. Izzul Muslimin, S. IP.
Delegasi PP Muhammadiyah diterima langsung oleh Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom, Sekum PGI Pdt. Jacklevyn F. Manuputty, Wasekum PGI Pdt. Krise Anky Gosal, Wabendra PGI Arie Moningka, serta beberapa sekretaris eksekutif, kepala biro, dan staf.
Dalam kunjungan tersebut sejumlah isu dibicarakan, di antaranya terkait kehidupan keberagamaan di Indonesia, media sosial, serta jelang pesta demokrasi Pemilu 2024.
“Kunjungan silaturahim seperti ini memang sangat dibutuhkan karena sekarang ini setiap perbedaan, termasuk perbedaan agama, yang semakin dikedepankan hanya untuk kepentingan tertentu semata,” ujar Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom mengawali perbincangan.
Lebih jauh dijelaskan, fenomena perkembangan agama belakangan ini, tidak hanya di Indonesia tapi juga dunia, yang makin mengarah ke kanan, termasuk juga dalam kekristenan. “Maka kami tertarik dengan penelitian yang dilakukan Mas Mu’ti tentang Kristen Muhammadiyah. Menurut saya ini sangat menginspirasi, bahwa sesungguhnya dakwah atau misi itu tidak melulu berorientasi kepada pertambahan jumlah, tetapi harus lebih bersifat kemanusiaan. Dewan Gereja seDunia juga mengartikulasikan bahwa misi itu adalah sesuatu yang bisa dilakukan dengan umat yang berkeyakinan lain,” ujarnya.
Sebab itu, lanjut Ketum PGI, Kristen Muhammadiyah, bisa menjadi terobosan baru, dan sebuah pandangan model inklusif yang membuat perjumpaan antaragama menjadi sebuah rahmat.
Sedangkan Prof. Haedar Nasir melihat, umat beragama di Indonesia seharusnya telah masuk dalam fase baru, dan melihat isu, seperti kristenisasi, islamisasi, dan lainnya, adalah isu klasik yang tidak lagi memberikan ancaman bagi kedua pihak. Melainkan bisa menjadi tempat bertemu untuk memberi pencerahan keagamaan dan kemanusiaan.
“Tapi memang ada keagamaaan yang menjadi ke kanan ini perlu kita lihat, karena dalam kajian sosial agama, ini fenomena revitalisasi agama, dalam situasi yang dianggap chaos akibat sekularisasi dan lain-lain. Agama berkembang sebagai bentuk pertahanan diri lalu menjadi ke kanan, tetapi arus besarnya semakin moderat. Persoalan ini terkadang bertambah rumit karena peran media sosial,” paparnya.
Menghadapi situasi ini, menurutnya yang diperlukan adalah dialog serta kerjasama, sehingga semua menjadi terbuka.
Sementara itu, menyoroti Pemilu 2024, sudah seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang rutin. “Padahal memilihnya cuma lima menit, kenapa harus musuhan puluhan tahun,” tandasnya.
Agama dan ideologi, ujar Prof. Haedar, masih kerap digunakan sebagai alat politik. Karena itu umat yang ikut menjadi kontestan harus lebih moderat, tidak membawa urusan agama ke dalam politik. “Menjadi concern kita bagaimana mengingatkan elit politik dan mereka yang berkontetasi tidak menyeret isu primordialisme yang akhirnya kita juga lembaga keagamaan yang harus menyelesaikan. Dua dasawarsa reformasi seharusnya memberi kita perobahan,” jelasnya.
Hal senada juga diungkapkan Pdt. Gomar Gultom. Kita masih menyisakan “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan, termasuk keberadaan partai politik. Meski demikian diakuinya demokrasi masih sebagai pilihan terbaik, meskipun proses demokrasi bersifat prosedural.
Diakhir pertemuan, kedua lembaga keagamaan ini berkomitmen untuk berupaya menjadikan Indonesia sebagai rumah bersama yang ramah terhadap keragaman dalam spirit persatuan dan Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu, akan mengawal Pemilu 2024 berjalan dipandu oleh moral keagamaan dan kebangsaan agar terlaksana dengan penuh demokratis, bermartabat, luber jurdil, dan tidak sekadar perjuangan kekuasaan semata.
PP Muhammadiyah dan MPH-PGI juga menyepakati perlunya merumuskan pesan moral bersama lembaga-lembaga keumatan jelang pemilu 2024. ADV- (kml)