*Oleh Mahbub Djunaidi, 8 Mei 1988.
TheJatim.com – SEKARANG umurnya sudah 64 tahun. Ketika tahun 1965, ia seorang pegawai negeri yang punya kedudukan baik sudah berdinas selama 21 tahun. Pada saat kejadian politik itu, ia bekerja sebagaimana biasa, tanpa halangan suatu apa pun.
Tiba-tiba bulan Maret 1966 ia dipecat tidak dengan hormat terhitung 1 Januari 1966. Pemecatan tidak dengan hormat itu datang tanpa pemberitahuan lebih dulu, tanpa lewat skorsing, tanpa lewat screening, tanpa lewat interogasi oleh siapa pun juga. Pemecatan itu seperti muncul begitu saja dari balik tanah.
Saking ibanya pimpinan kantor kepadanya, sang pimpinan menasihatkan supaya ia mengadukan ihwalnya ke pusat. Maka ia pun kirim surat pengaduan dan mohon pertimbangan. Dia kirim surat ke Pangkopkamtib, kirim surat ke pimpinan DPR, kirim surat ke Komisi III VB Da Costa, kirim surat kepada Ketua Komisi II DPR Saban Sirait. Isi pokok surat minta periksa, apa sebab sampai dipecat. Dalam semua surat itu ia sertakan juga pernyatan dari pimpinan Orpol PNI dan NU mengenai bersihnya dirinya.
Begitu lancarnya keadaan sehingga pada waktu Pemilu 1977 ia memberikan suara sebagaimana mestinya, karena memang ia tetap punya hak pilih. Sepintas lalu keadaan berjalan sebagaimana mestinya, walau hingga saat itu ia tidak menerima balasan apa pun mengenai surat-surat yang ia kirim.
APA lacur, sementara pengaduan tidak ada kabar beritanya, tahun 1981 datang kabar yang amat mengagetkan. Pada pertengahan tahun 1981 itu, ia terima surat keputusan dari Laksuda Jateng yang isinya menetapkan ia dalam golongan BI. Apa maksud golongan BI itu, ia tidak paham. Sebagaimana yang dulu-dulu juga, ia tidak pernah dipanggil dan diperiksa oleh siapa pun juga. Dia sampai terpikir, apakah keputusan terkhir ini dijatuhkan ke dirinya karena ia kirim rupa-rupa surat pengaduan ke pusat? Apa iya kesalahan menjadi tambah berat karena kirim surat pengaduan?
Dalam keadaan putus asa dan tak tahu akan berbuat apa, ia sekadar mampu berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, terima saja suratan yang sudah jatuh menimpanya walaupun ia sendiri tidak tahu apa sebetulnya kesalahannya. Kalau segala usaha sudah ditempuh, apa yang bisa dilakukan oleh orang kecil seperti dia kecuali berserah diri dan meratapi nasib? Jika gunung batu kelewat kokoh dan tangan kelewat lemah, apa yang mesti dilakukan daripada duduk bersimpuh mengharapkan belas kasihan Nya dan pihak yang punya kekuasaan?
TAPI apa lacur. Rupanya belum juga ia boleh hidup tenteram. Danau yang mulai tenang atau ditenang-tenangkan sekarang mulai bergelombang lagi kenapa? Karena ia kebetulan baca koran Kompas terbitan 3 Februari 1988 halaman XI. Rasa gelisah rupanya masih saja sampai hati menguber-ubernya.
Terbaca berita dalam koran itu bahwa Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Barat akan mengadakan clearance test bagi para guru sekolah dasar di wilayahnya. Setiap mereka yang kena screening itu mesti beli buku tes tiga buah yang sebuahnya berharga Rp 1.250, berikut 12 pas foto berukuran 3×4. Ini clearance test yang kedua kali karena pernah pula diadakan tahun 1972. Apa maksud clearance test itu? Dimaksud untuk menjamin ada- nya “bersih lingkungan” dalam dunia pendidikan. Apa yang dimaksud “bersih lingkungan”? Yaitu, para pendidik tidak boleh punya kakek atau mertua yang terlibat OT atau organisasi terlarang. Semua pendidik mesti bersih bagaikan sehelai kain putih tanpa noda. Sebuah screening dinas P dan K sedang melakukan pendataan kepada para pendidik yang berjumlah 190.000 tambah 5.000 pegawai tata usaha.
Mengapa tokoh yang kita bicarakan ini sampai merasa gelisah? Karena ia punya lima anak yang kesemuanya pegawai negeri di antaranya ada yang seorang yang lulusan IKIP yang menjadi guru sekolah dasar.
la merasa cemas anak-anaknya akan kena pula “bersih lingkungan”. walaupun anaknya yang terbesar di tahun 1965 baru duduk di kelas SMP dan yang paling bungsu baru berumur 4 tahun saat itu. Bagaimana mungkin anak kelas 3 SMP apalagi anak yang berumur 4 tahun saat tahun 1965 itu mengerti tentang ideologi dan politik? Tapi jika dihubungkan dengan dirinya yang sudah dipecat dan sudah digolongkan ke dalam katagori golongan BI boleh jadi anak-anaknya pun bisa tersapu di dalam proses pembersihan itu. la sudah tak tahu lagi mesti berbuat apa. Ia sudah pasrah, ia tidak menginginkan anak-anak yang tidak punya dosa apa-apa harus kena hukuman di luar perbuatannya sendiri. Mengapa mereka dibiarkan berkembang jika akhirnya toh harus dibabat pula?
Siapakah nama orang yang kita bicarakan dalam tulisan ini? Nama tidak penting. Dan yang bersangkutan pun takut namanya disebut-sebut secara terbuka. Sudah cukuplah kalau orang tahu masih ada manusia Indonesia umur 64 tahun yang bernasib seperti itu di negeri yang berdasar Pancasila ini.