Kamis, 16 Oktober 2025
Image Slider

Rame-rame Pajak PBB Naik, Praktisi Anggaran Sebut Pemda Abaikan Mandatory Budgeting

Thejatim.comSurabaya, Kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang cukup tinggi jadi sorotan publik. Tak ayal, hal ini membuat masyarakat marah dan melawan, gelombang demonstrasi pun dilakukan di berbagai daerah.

Praktisi Anggaran, Mauli Fikr, menegaskan kemarahan masyarakat terjadi karena pemerintah daerah gagal mengelola kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).

“Sependek pengetahuan saya, semua ini bermula dari lahirnya UU HKPD. Mereka (Pemda) tidak adil mengimplementasikan kebijakan tersebut,” ujarnya dilansir dari laman mauli.id, Senin (18/08/2025).

Dirinya menyebutkan, UU HKPD telah membuka ruang reformulasi pendapatan asli daerah melalui pajak dan retribusi daerah. Tak cukup itu, peraturan ini juga mengubah wajah pengelolaan keuangan daerah secara menyeluruh baik di sektor belanja dan pembiayaan.

Baca Juga:  SPM-MP Demo Surabaya Soroti Anggaran APBD 2025 Dinilai Membengkak

Direktur Intra Publik ini menambahkan, sejak kebijakan tersebut diberlakukan, secara serentak pemerintah daerah pada tahun 2023 rata-rata merekayasa peraturan perpajakan dengan menaikkan tarif pajak dan retribusi daerah.

“Kenapa ini yang dipilih? Tentu karena hanya dengan cara ini mereka mampu mengatasi krisis fiskal daerah dengan cara instan,” ungkapnya.

“Rata-rata peraturan daerah tentang kenaikan pajak dan retribusi yang dipakai itu terbit tahun 2023 dan mulai diberlakukan efektif tahun ini,” imbuh Mauli Fikr.

Ia menyampaikan, sejatinya UU HKPD tidak semata-mata berbicara soal pemenuhan kapasitas fiskal melalui pajak. Namun, ada mandat yang tak kalah penting yaitu mandatory budgeting.

Terkait hal ini, pemerintah daerah diwajibkan mengalokasikan beberapa jenis belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), seperti belanja pegawai maksimal 30 persen dan belanja infrastruktur minimal 40 persen.

Baca Juga:  Usai Hearing, Intra Publik Dorong Pemkot Surabaya Tingkatkan Komitmen Belanja Pendidikan

“Artinya, keseimbangan fiskal diharapkan tidak hanya dikejar dari sisi pendapatan, tapi juga dari kualitas belanja,” tegas eks Tenaga Ahli DPD RI ini.

Mauli menjelaskan, semangat lahirnya UU HKPD untuk sektor pendapatan adalah meningkatkan local taxing power dengan tetap menjaga kemudahan berusaha di daerah, serta restrukturisasi jenis pajak daerah, khususnya yang berbasis konsumsi (hotel, restoran, hiburan, parkir, dan PPJ) menjadi Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).

Sementara untuk belanja daerah, mengusung spirit untuk meningkatkan kualitas pengalokasian belanja daerah agar lebih produktif dan fokus pada layanan dasar masyarakat dan mandatory budgeting, sehingga terjadi akselerasi pemerataan kualitas layanan publik dan kesejahteraan di daerah.

Baca Juga:  Menkeu Usulkan Penyederhanaan Pajak Daerah untuk Peningkatan Pendapatan Daerah

“Namun, konteks hari ini memperlihatkan hal yang berbeda. Banyak pemerintah daerah lebih berfokus pada cara instan yaitu menaikkan tarif pajak, terutama PBB-P2 ketimbang berbenah di sisi belanja,” terangnya.

Dikatakan, PBB-P2 dipilih karena relatif mudah serta tidak membutuhkan kajian panjang dan inovasi besar. Akan tetapi justru langsung menyentuh basis wajib pajak yang luas.

“Sementara itu, kewajiban mengelola belanja secara disiplin justru terabaikan,” pungkas Mauli.

Sebagai informasi, kenaikan pajak PBB selain terjadi di Pati, Jawa Tengah sehingga menimbulkan demonstrasi besar, naiknya pajak PBB juga menimpa beberapa daerah di Jatim. Bahkan, sebanyak lima daerah di Jatim menaikkan pajak PBB cukup tinggi, meliputi, Jombang, Lamongan, Tulungagung, Magetan, dan Kota Pasuruan.

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Baca Juga
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Terbaru
ADVERTISEMENT