M. N. Hidayat*
Rancangan Undang-Undang tentang kesehatan yang baru-baru ini diusulkan menuai banyak kontroversi dan protes dari banyak tenaga kesehatan di seluruh Indonesia.
Hal ini terjadi sebagai akibat dari langkah pemerintah yang dianggap kurang matang dalam merancang dan menyusun UU omnibus yang sangat kontroversial dan sepihak.
Apabila RUU tersebut disahkan, banyak pihak, termasuk masyarakat secara umum, akan merasakan dampak yang merugikan.
Pembahasan RUU kesehatan yang dinilai amatir karena tidak melibatkan partisipasi publik dan pihak profesional, seperti organisasi profesi kesehatan.
Monopoli pembahasan RUU yang merupakan produk hukum merupakan kemunduran bagi demokrasi di Indonesia dan bertentangan dengan asas UU peraturan pembentukan perundang-undangan serta keputusan MK terkait partisipasi publik.
Masalah lain adalah tidak adanya alasan mendasar dan telaah ilmiah yang menjadi pertimbangan krusial dalam perubahan undang-undang kesehatan sebelumnya.
Kontroversi dalam RUU ini banyak disoroti oleh publik dan tenaga kesehatan karena beberapa pasal yang dianggap “nyaleneh” dan merugikan. Misalnya, pasal 154 ayat 3 yang menyamakan produk tembakau sejajar dengan produk ilegal seperti narkotika dan psikotropika, yang dapat merugikan petani tembakau dan industri yang telah banyak berkontribusi pada negara.
Ada juga pasal yang akan merusak independensi konsil kedokteran Indonesia (KKI) terkait dengan standar kompetensi tenaga kesehatan, di mana Menkes mengambil alih penentuan standar tersebut pada pasal 197 ayat 3. Ini merupakan hegemoni pemerintah atas KKI sebagai badan yang independen.
RUU yang penuh kontroversi dan merugikan ini harus ditolak dan diprotes karena dapat menyebabkan banyak masyarakat yang dirugikan, terutama mengingat peran tenaga kesehatan yang sangat penting dan berjasa bagi bangsa dan negara. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian ulang dan partisipasi publik yang lebih luas dalam pembahasan RUU kesehatan.
*M. N. Hidayat (Aktivis dan Mahasiswa SumenepDuta Kesehatan Jawa Timur)