TheJatim.com – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama LBH Surabaya menilai penangkapan dua aktivis, Muhammad Fakhrurrozi alias Paul, dan Ahmad Faiz Yusuf, sebagai bentuk kriminalisasi. LBH menegaskan, praktik ini menjadi ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia.
Paul dikenal sebagai aktivis sosial yang vokal dan konsisten menyuarakan isu kemanusiaan. Ia juga alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Selama ini, Paul aktif menginisiasi festival literasi, seni, dan musik di berbagai kota.
Namun kiprah panjangnya berbanding terbalik dengan nasib saat ini. Pada 27 September 2025, Paul ditangkap aparat Polda Jawa Timur. Penangkapan dilakukan di Yogyakarta oleh 30 orang tanpa seragam. Polisi juga menyita barang pribadinya sebelum membawanya ke Mapolda Jatim.
Sementara itu, Anang Advokat dari LBH AP Muhammadiyah Nganjuk saat konferensi pers menyebutkan bahwa Faiz adalah seorang pelajar Madrasah Aliyah di Nganjuk. Ia juga aktif sebagai pegiat literasi. Faiz ditangkap Polres Kediri Kota pada 21 September 2025. Polisi menuduhnya memprovokasi unjuk rasa di Kediri lewat unggahan Instagram.
Menurut tim hukum, unggahan itu dibuat di bawah tekanan dan intimidasi. Meski begitu, Faiz tetap dijadikan tersangka dan ditahan. LBH menyebut penetapan tersangka terhadap Paul dan Faiz prematur dan penuh kejanggalan.
Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul Wicaksana, menilai penyidik tidak profesional. Ia menyoroti pola pertanyaan seragam yang diarahkan agar Paul dan Faiz dikaitkan dengan kerusuhan di Kediri, 30 Agustus 2025.
“Padahal keduanya tidak berada di lokasi kejadian,” tegasnya, dalam konferensi pers di Kantor LBH Surabaya, Kamis (2/10/2025).
M. Ramli Himawan, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye LBH Surabaya mencatat delapan dugaan pelanggaran hukum dan HAM dalam kasus ini. Pelanggaran itu meliputi penangkapan paksa, penggeledahan sewenang-wenang, penyitaan barang yang tidak relevan, hingga tidak diberikannya Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada kuasa hukum.
Direktur LBH Surabaya, Habibus Shalihin, menyatakan lima sikap resmi. Pertama, mendesak Kapolda Jatim membebaskan Paul dan Faiz. Kedua, menuntut Komnas HAM mengusut pelanggaran HAM. Ketiga, mendorong Kompolnas melakukan investigasi independen. Keempat, meminta LPSK menjamin hak keduanya selama penahanan. Kelima, mengajak masyarakat sipil ikut mengawasi proses hukum.
“Kriminalisasi aktivis adalah catatan merah bagi kepolisian. Jika praktik ini dibiarkan, demokrasi Indonesia akan semakin rapuh,” tegas Habibus.