Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
سَيَأْتِيْ زَمَانٌ عَلَى أُمَّتِيْ يُحِبُّوْنَ خَمْسًا وَيَنْسَوْنَ خَمْسًا: يُحِبُّوْنَ الدُّنْيَا وَ يَنْسَوْنَ اْلآخِرَةَ، يُحِبُّوْنَ الدُّوْرَ وَيَنْسَوْنَ اْلقُبُوْرَ، يُحِبُّوْنَ الْمَالَ وَ يَنْسَوْنَ اْلحِسَابَ، يُحِبُّوْنَ اْلعِيَالَ وَيَنْسَوْنَ الْحُوْرَ، يُحِبُّوْنَ النَّفْسَ وَيَنْسَوْنَ اللهَ، هُمْ مِنِّيْ بُرَاءَ وَأَنَا مِنْهُمْ بَرِيْءٌ.
“Kelak suatu zaman akan menimpa umatku, mereka mencintai lima perkara dan melupakan lima perkara. Mereka suka dunia dan melupakan akhirat, suka rumah mewah dan melupakan kubur, suka harta benda dan melupakan perhitungan, suka keluarga dan melupakan bidadari surga, suka dirinya sendiri dan melupakan Allah, mereka adalah orang-orang yang berlepas diri dariku dan aku pun berlepas diri dari mereka.” (Syeikh Nawawi Al-Bantani, Nashaihul Ibad, hal. 48)
Kelak akan tiba suatu masa pada umatku, mereka mencintai lima perkara dan melupakan lima perkara, atau kebalikannya dari lima perkara tersebut:
1) Mereka terlalu cinta dunia dan melupakan akhirat. Maksudnya, mereka meninggalkan amal untuk bekal di akhirat.
2) Mencintai rumah (tempat tinggal) yang mewah, mereka terlena dengan menghias rumah seindah mungkin dan lupa dengan kubur, akhirnya meninggalkan amal yang dapat menerangi kubur mereka di alam barzakh.
3) Mencintai harta duniawi, maka mereka sibuk mengumpulkan harta benda dan lupa dengan hisab (perhitungan amal). Maksudnya lupa dengan hisab Allah atas perbuatan yang dilakukan. Sesungguhnya harta yang kamu sukai itu potensinya ada dua, yang halal akan dihisab, dan yang haram akan mendapatkan siksa.
4) Mencintai anak dan istri (keluarga), dan melupakan bidadari surga dan melupakan pahala (kenikmatan) yang ada di surga, yang akan diperoleh oleh hamba yang bertakwa.
5) Suka menuruti hawa nafsunya, yang diinginkan dirinya dituruti semua, dan lupa kepada Allah, baik perintah maupun larangan-Nya. Seperti mencintai kehendak dirinya sendiri, dan meninggalkan perintah Allah.
Sabda Nabi ini ditutup dengan kalimat:
هُمْ مِنِّيْ بُرَاءَ وَأَنَا مِنْهُمْ بَرِيْءٌ.
Maksudnya, mereka merupakan orang yang terbebas (jauh). Istilah gampangnya, mereka tidak ada urusan dengan nabi, dianggap orang lain. Orang yang jauh dari nabi dan nabi pun terbebas dari mereka. Jadi nabi tidak ada urusan dan jauh dari mereka.
Kemudian, di antaranya Allah menyifati Nabi dengan firman-Nya: “Muhammad, saya menemukan kamu dalam keadaan susah, kemudian aku memberimu kekayaan (kecukupan).” Sekarang, kalau Allah memberi kecukupan kepada Nabi, maknanya berhasil kaya atau miskin. Jadi Nabi pernah berhasil kaya.
Kata Imam Ghazali: “Fakir itu baik, karena meringankan hisab. Tapi masalahnya adalah Allah itu juga mewajibkan zakat.” Zakat itu kira-kira, anggap saja misalnya, 20 mitsqal itu sama dengan 80 gram. Jika 1 gram itu bernilai Rp500 ribu berarti totalnya Rp40 juta. Jadi orang yang punya harta yang nilainya ada Rp40 juta dalam perdagangan atau bisnis, maka zakat yang dikeluarkan 2,5 persen, jadi zakatnya hanya Rp1 juta saja.
Kalau dalam matematika (hitungan) Arab itu lebih mudah disebut rubu’ul usyur (seperempat dari sepersepuluh), sepersepuluh dari Rp40 juta sama dengan Rp4 juta. Lalu seperempat dari Rp4 juta jadi Rp1 juta. Makanya bahasa Arab itu lebih mudah, kalau membuat matematika bertahap, rubu’ul usyur (seperempat dari sepersepuluh).
Makanya, kata Imam Ghazali: “Semua itu tidak usah berlebihan.” Fakta kalau agama ini menyuruh kita hidup mampu dan kaya, di antaranya adalah kita diperintah zakat dan haji. Fakta juga bahwa agama ini menyuruh supaya ringan hisab, di antaranya tidak menumpuk-numpuk harta, karena setiap harta yang kita dapat akan dihisab kelak di hari kiamat.
Bahkan dalam hadits, Nabi SAW pernah bersabda: “Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai seorang miskin, dan matikanlah aku sebagai seorang miskin.”
Sehingga kata Imam Ghazali: Kita ini tidak usah berlebihan, kita ngomong sesuai hukum fikih saja. Maksudnya, bagi yang sudah kaya ya kita bicara kewajiban menunaikan zakat dan haji, sedangkan bagi yang miskin ya kamu bisa memperbaiki hidupmu sendiri, entah dengan cara ridha terhadap qadha dan qadar karena memang sudah turunan miskin atau dengan berusaha sesuai kemampuan. Pokoknya yang penting kamu tidak disalahkan jadi miskin karena hidup bermalas-malasan.
Kata Imam Ghazali: Jika fatwa itu berdasar masing-masing (berdasar satu ilmu saja), maka fatwa tersebut buruk sekali. Tidak sekadar buruk, tapi buruk sekali. Jadi ini penting saya jelaskan, sebab jarang orang yang menerangkan tasawuf dengan fikih.
*Disadur dari pengajian KH Bahauddin Nursalim atau Gus Baha.