Kamis, 9 Oktober 2025
Image Slider

Tidak Ada Rezeki yang Halal 100 Persen

Thejatim.com – Saya punya teman akrab. Saya juga sering diberi uang olehnya. Dia pernah cerita ke saya, Gus, saya ini orang Lamongan, kerja di Jakarta. Jadi, warung saya itu pelanggannya kadang ibu-ibu saat jam 4 sore sampai Isya itu masih normal saja. Tapi kalau sudah jam 2 malam dini hari, itu jarang ada yang normal, Gus.

Husnuzhan saja kalau dia orang baik kan gimana, Gus. Dia merayu di depanku. Transaksinya di hadapanku. Saya paksa husnuzhan itu tidak bisa, jawabnya santai. 

Lalu uang hasil jualan tadi saya kirimkan untuk adik saya yang sedang mondok. Itu hukumnya bagaimana, Gus?

Jadi kalau jam 4 sore masih normal, tapi mulai jam 2 dini hari ke atas itu pelanggannya orang yang tidak normal. Maka saya bercandai, kalau betul kamu santri, ya jam 2 malam tutup. Waduh, justru itu pas lagi ramai-ramainya, Gus.

Tapi kalian jangan sok suci sendiri, sama saja, di semua bisnis sekarang begitu. Makanya yang disesali ulama modern, kenapa ulama dulu mencontohkan I’anah alal ma’shiyat dengan menjual pedang ke tukang begal. Sama saja, kalau sekarang bisa disamakan menjual pulsa ke pria hidung belang juga dipakai untuk selingkuh. Betul tidak?

Makanya ada ulama modern mengkritik, Ulama dulu itu bagaimana? Kenapa mereka mencontohkan orang zalim selalu dengan menjual pedang.

Sekalipun orang zalim, kalau kamu tidak menjual nasi kepadanya, dia akan lapar dan takkan berbuat zalim. Berarti yang dosa itu bisa mulai dari yang jual nasi atau jual pulsa, sama saja. Menjual alat bangunan juga sama. Karena dengan bangunan, orang-orang jadi bisa mojok di bilik. Jadi di dunia ini semuanya sama, dan saling berkaitan.

Baca Juga:  Gus Baha: Jangan Cuma Saleh Tanpa Belajar Ilmu Lain

Makanya Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)

Makanya kita wajib zakat, karena kita tidak pernah tahu. Mungkin kita tidak pernah maksiat langsung. Tapi efek dari perilaku atau sistem yang ada di sekitar kita, sehingga ada sedikit noda yang tidak halal (haram) pada rezeki yang kita dapatkan.

Saya punya santri seorang sopir bus, dia menulisi busnya dengan ‘Semoga selamat sampai tempat tujuan’. Saya suruh copot, karena menulis seperti itu bisa juga menjadi dosa kamu. Misalkan saja ada penumpangnya yang ingin mencuri atau mau menuju tempat prostitusi, apalagi kalau kamu doakan, semoga keinginannya terkabul. Malah repot, tidak usah seperti itu.

Kalau memang ingin mendoakannya, begini saja ‘Semoga yang baik kesampaian’. Daripada sok suci, ‘Semoga keinginannya terkabul’. Berarti copet didoakan terkabul rencananya. Begitu pula yang sedang menuju tempat maksiat.

Makanya, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani yang dikenal sebagai sulthanul auliya (rajanya para wali), berkali-kali fatwa di majlisul ilmi (forum ilmiah). Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani yang begitu alim dan terkenal sebagai ketua para wali saja bingung menghadapi fenomena seperti ini, sampai beliau punya fatwa yang masyhur. Saya masih ingat betul redaksi beliau di kitab Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, beliau mengatakan: “Maka yang namanya halal itu hukumnya saja, tapi ain (fisik)-nya tidak akan halal.”

Jadi, ain (fisik) itu tidak bisa halal, halal itu cuma hukumnya saja, sampai beliau berani menjamin, bahwa ain (fisik) tidak bisa halal 100 persen. 

Baca Juga:  Gus Baha: Jangan Mencaci Pelaku Maksiat, Bencilah Kemaksiatannya

Mau halal bagaimana, misalnya kamu jadi sopir. Kalau ada yang dagang, orang beli lalu bayar, itu normal. Ada yang dagang pecel di Bringharjo, bayar normal. Ada orang yang mau ngantor di lembaga riba, jelas dosa. Ada yang mau ngantor di prostitusi, dosa. Ada yang mau mangkal di percopetan, jelas dosa.

Tapi karena kita jadi sopir, pokoknya kalau ada yang order bayar, ya berangkat. Nah itulah maksud dari fal halalu halalu hukmin. Kita halal menerima uang itu, karena secara hukum halal. Tapi kalau ain-nya: Copet bayar ke kamu pakai uang copetan. Beli pulsa dari uang hasil copet. Sedangkan yang dagang pulsa itu santri, dan hasil jual pulsa dia pakai untuk salam tempel pada kiainya. Sudah, tidak usah munafik. Kalau ain-nya tetap tidak bisa, pasti bermasalah.

Usaha warung juga sama, pelanggannya ada yang orang saleh yang makan di warung supaya kuat shalat. Tapi ada juga orang zalim yang makan agar kuat lari saat mencuri atau mencopet. Jualan pulsa juga sama, kalau yang beli santri mungkin untuk silaturahim atau mengumumkan pengajian. Tapi kalau tukang selingkuh, lalu bagaimana hukum menjual pulsa kepadanya. Masak kalau jual pulsa, ada kriteria kalau yang beli itu santri dan kepentingannya benar, maka boleh beli di sini? 

Baca Juga:  Doa Kok Aneh-Aneh?

Begitu juga jualan beras. Yang makan demi kepentingan ibadah, silakan beli di sini. Yang tidak, jangan. Kalau ada pengumuman seperti itu, tetap saja pasti banyak yang berbohong. Lantas yang halal itu bagaimana?

Kamu mau buat contoh lagi tukang parkir. Ternyata ada pelanggan parkir yang tukang selingkuh, dia pun bisa tenang berselingkuh karena mobilnya ada yang jaga. Berarti kamu ikut memberi kontribusi keamanan dia dalam berselingkuh. Betul tidak? Jadi semua itu saling bersangkut paut dan berkaitan.

Misalkan lagi contohnya, toko tasbih itu kan jual alat untuk wiridan, tapi kalau menurut paham Wahabi, wiridan macam-macam (pakai tasbih) itu syirik, justru dosa besar. Jadi ribet. Belum lagi kalau tasbihnya besar, pakai benang dari China (non muslim) yang membuat mereka jadi kaya, tapi kekayaan itu mereka pakai untuk kekafiran. Bagaimana, haram lagi kan?

Makanya kata Imam Al-Ghazali, di dunia ini cuma ada satu yang halal murni, yaitu:

Air yang jatuh dari langit yang langsung kamu tangkap dengan tangan atau mulutmu, tanpa atap, karena atap (genteng) itu bisa jadi masalah kalau yang membuat bukan orang yang benar. Wallahu a’lam bis-shawab. 

*Disadur dari pengajian KH Bahauddin Nursalim atau Gus Baha.

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Populer

BETAWI

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Terbaru
ADVERTISEMENT