Sabtu, 1 November 2025
Image Slider

Gerakan Koin dan Refleksi Kemandirian Jamaah dan Jam’iyah NU

Oleh: Abdul Warits *)
Nahdlatul Ulama (NU) sejak kelahirannya pada 1926 bukan hanya dikenal sebagai organisasi keagamaan, tetapi juga sebagai gerakan sosial kebangsaan yang berakar kuat pada jamaah.

Dalam perjalanannya, NU senantiasa dihadapkan pada dinamika zaman, mulai dari perjuangan melawan kolonialisme, menjaga keutuhan bangsa, hingga menghadapi tantangan globalisasi, dan arus paham transnasional.

Di tengah tantangan tersebut, satu nilai mendasar yang terus dipertahankan adalah kemandirian. Kemandirian inilah yang menjadi ruh bagi jamaah (warga NU) maupun jam’iyah (organisasi NU) agar tetap eksis dan kokoh di tengah perubahan zaman.

Jika mengaca kepada masa kolonial Hindia Belanda ditandai dengan praktik monopoli ekonomi, terutama dalam sektor perkebunan, perdagangan, dan tanah. Rakyat, khususnya kalangan santri dan petani pribumi, sering kali secara ekonomi berada dalam posisi terpinggirkan.

Sementara itu, akses pendidikan, modal, dan kesejahteraan lebih banyak dikuasai kaum kolonial dan kelompok elit. KH M Hasyim Asy’ari membaca kondisi ini dengan tajam. Beliau memahami bahwa perjuangan melawan kolonialisme tidak hanya dengan senjata atau fatwa jihad, tetapi juga dengan membangun kesadaran kemandirian ekonomi umat.

Dalam banyak pengajiannya, beliau menekankan pentingnya bekerja keras, berdagang, serta menghindari sikap malas dan bergantung pada pihak asing. Pesantren Tebuireng yang didirikan KH M Hasyim Asy’ari bukan hanya pusat pendidikan agama, tetapi juga menjadi ruang pemberdayaan ekonomi.

Santri dilatih hidup sederhana, mandiri, dan terbiasa dengan kegiatan produktif. Selain belajar kitab kuning, mereka juga dibiasakan untuk bertani, beternak, dan berdagang dalam lingkup kecil. Pola hidup ini menanamkan kemandirian ekonomi sejak dini.

Lebih jauh, KH M Hasyim Asy’ari menekankan bahwa santri dan jamaah NU harus mampu mengelola potensi lokal yang dimiliki. Misalnya, warga NU yang mayoritas petani perlu mengembangkan hasil bumi secara mandiri tanpa sepenuhnya bergantung pada tengkulak kolonial. Sikap ini sejalan dengan prinsip i’timad ‘ala al-nafs (bersandar pada kekuatan diri sendiri) yang ia tanamkan.

Baca Juga:  Tertinggi Se-Madura, Donasi Palestina LAZISNU Sumenep Capai Rp315 Juta

NU di masa KH M Hasyim Asy’ari tidak hanya berdakwah dalam bidang agama, tetapi juga mendorong umat agar tidak terjerat sistem ekonomi kolonial yang menindas. Dalam perspektif Mbah Hasyim, kelemahan ekonomi umat bisa berakibat pada lemahnya daya juang dan mudahnya intervensi dari luar.

Oleh karena itu, membangun ekonomi mandiri dipandang sebagai bagian dari perjuangan agama sekaligus perjuangan kebangsaan. Refleksi ini tampak jelas ketika NU mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Meski resolusi itu lebih dikenal dalam konteks perjuangan fisik, namun secara tidak langsung ia juga menuntut kemandirian logistik, pangan, dan ekonomi untuk menopang perlawanan rakyat. Tanpa kemandirian ekonomi, semangat jihad akan melemah karena keterbatasan bekal dan daya dukung.

Kemandirian Jamaah sebagai Tradisi dan Perekat Solidaritas
Kemandirian jamaah NU tercermin dari kekuatan tradisi keagamaan dan sosial yang mereka rawat. Jamaah NU tidak hanya menjadikan pengajian, tahlilan, dan tradisi keagamaan lainnya sebagai ruang spiritual, melainkan juga sebagai wadah solidaritas sosial.

Sikap gotong royong, kepedulian terhadap sesama, dan semangat “dari warga untuk warga” telah menjadi modal sosial yang luar biasa. Inilah bentuk kemandirian jamaah, yaitu tidak selalu menunggu bantuan pihak luar, melainkan saling menopang dalam lingkaran keluarga besar NU seperti sumbangan suka rela melalui gerakan koin dan semacamnya.

Kekuatan jamaah ini pula yang menjadikan NU mampu bertahan sebagai komunitas terbesar di Indonesia. Jamaah yang kokoh berarti akar NU tetap tertanam kuat di tengah masyarakat, sekaligus menjadi fondasi yang menopang keberlangsungan jam’iyah.

Baca Juga:  Ulama NU Pamekasan mendesak Polda Jatim segera tetapkan Yassir sebagai tersangka

Kemandirian Jam’iyah NU dan Nilai Independensi
Jika jamaah NU adalah akar, maka jam’iyah NU adalah batang dan dahan yang mengarahkan gerakan. Jam’iyah NU sebagai organisasi membutuhkan sistem dan sumber daya agar mampu bergerak secara mandiri. Namun, kemandirian jam’iyah tidak dapat dilepaskan dari dukungan jamaah. Tanpa kemandirian jamaah, jam’iyah hanya menjadi struktur formal yang rapuh.

Kemandirian jam’iyah ditandai dengan usaha NU untuk tidak bergantung pada kekuatan eksternal, terutama politik atau bantuan yang bisa menggerus independensi organisasi. NU harus tetap berdiri tegak sebagai penopang umat dan bangsa, bukan sekadar instrumen kepentingan sesaat. Dalam hal inilah gerakan Koin NU hadir sebagai salah satu manifestasi nyata.

Gerakan Koin NU: Simbol Kemandirian dan Kebangkitan Ekonomi
Gerakan Koin NU lahir sebagai jawaban atas kebutuhan organisasi untuk mandiri dalam mengelola sumber daya finansial. Koin NU atau Kotak Infaq NU bukan sekadar penggalangan dana receh, tetapi sebuah gerakan membangun kemandirian ekonomi dari jamaah untuk jam’iyah. Setiap koin yang dikumpulkan mencerminkan komitmen warga NU untuk bersama-sama menopang rumah besar mereka.

Lebih dari sekadar finansial, gerakan Koin NU mengandung nilai-nilai ideologis dan spiritual. Pertama, ia menumbuhkan rasa memiliki: jamaah merasa bahwa NU adalah bagian dari diri mereka karena turut berkontribusi dalam menjaga keberlangsungan organisasi.

Kedua, ia meneguhkan semangat kesederhanaan: meski hanya berupa receh, ketika dikumpulkan menjadi kekuatan besar. Ketiga, ia menumbuhkan kemandirian jam’iyah: NU tidak mudah diintervensi kepentingan luar karena memiliki sumber daya internal.

Gerakan Koin NU pada akhirnya menjadi cermin kebangkitan ekonomi berbasis umat. Ia menunjukkan bahwa solidaritas dan kepedulian sosial dapat menjadi modal penting dalam menghadapi tantangan zaman, termasuk dominasi kapitalisme global dan ketergantungan pada sumber daya eksternal.

Baca Juga:  5 Kiai Khos Bakal Hadiri Puncak Hari Santri 2023 NU Sumenep

Refleksi atas kemandirian jamaah dan jam’iyah NU menunjukkan bahwa kekuatan utama NU terletak pada perpaduan antara basis jamaah yang kokoh dan struktur jam’iyah yang mandiri. Jamaah menghidupi jam’iyah, sementara jam’iyah mengarahkan jamaah agar tetap relevan dengan tantangan zaman.

Refleksi atas kemandirian ekonomi NU pada masa KH M Hasyim Asy’ari memberikan pelajaran berharga bagi generasi sekarang. Bahwa kekuatan NU bukan hanya pada aspek jumlah jamaah yang besar, tetapi juga pada kemampuan mengelola kemandirian ekonomi. Dalam era modern, kemandirian ekonomi bisa diwujudkan melalui koperasi, badan usaha, maupun gerakan kecil seperti Koin NU. Semua itu merupakan pengejawantahan dari spirit yang pernah ditanamkan oleh KH M Hasyim Asy’ari: berdiri di atas kaki sendiri.

Kemandirian ekonomi di masa KH M Hasyim Asy’ari bukan sekadar strategi bertahan hidup, melainkan fondasi perjuangan NU untuk menjaga martabat umat dan bangsa. Beliau menegaskan bahwa umat yang kuat ekonominya adalah umat yang merdeka, tidak mudah dijajah, dan mampu menjaga nilai-nilai agama serta kebangsaan. Refleksi ini relevan hingga kini: NU harus terus memperkuat kemandirian ekonomi sebagai bagian integral dari dakwah, pendidikan, dan perjuangan kebangsaan

Dalam konteks ini, gerakan Koin NU menjadi simbol nyata kemandirian sekaligus pengikat emosional antara jamaah dan jam’iyah. Kemandirian yang berangkat dari gerakan kecil seperti Koin NU sejatinya adalah pelajaran besar: bahwa dari hal sederhana lahir kekuatan besar, dari jamaah lahirlah jam’iyah yang kokoh, dan dari NU lahirlah semangat menjaga bangsa dan kemanusiaan.

*) Penulis adalah kader GP Ansor Sumenep.

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Baca Juga

Santri Menembus Ketidakmungkinan

Santri Menembus Ketidakmungkinan

Dirgahayu TNI-80, Hari Santri

Sejarah Harley-Davidson

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Terbaru
ADVERTISEMENT