Sejarah telah menjawab sendiri bagaimana kekejaman peristiwa perang dan perselisihan antar negara yang terjadi di dunia ini di masa lampau,berbagai kekejaman massal dan penindasan Hak Asasi Manusia banyak terjadi pada waktu itu dan tidak terelakkan lagi. Pembunuhan massal, genosida dan pemerkosaan merupakan sedikit dari banyaknya kekejaman yang terjadi saat perang. Kekejaman massal (mass atrocity) adalah tindakan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor sosial, ekonomi, maupun politik.
Perdebatan besar dalam Ilmu Hubungan Intenasional bermula dari perdebatan besar (great debate) mengenai kekerasan (violence). Kekerasan massal merupakan tindakan yang dapat dilakukan baik oleh aktor negara maupun non-negara, dan hampir setiap negara pernah memiliki pengalaman terkait kekejaman massal. Penting kemudian untuk menganalisis baik penyebab dari terjadinya kekejaman massal, maupun variasi perspektif terhadap respon internasional yang merespon kekejaman massal tersebut. Yang dimaksud dengan kekejaman massal dalam hal ini ialah kekerasan berskala besar, berkelanjutan, disengaja, sistematis terhadap warga sipil yang mengakibatkan kematian massal melalui pembunuhan atau penciptaan kondisi secara sengaja yang mengakibatkan warga sipil meninggal.
Beberapa kasus baru yang menonjol adalah Bosnia, Rwanda, Kosovo, Timor Leste, Darfur, Republik Demokratik Kongo, Libya, dan Suriah. Hasil yang ada dalam pikiran kita konsisten dengan istilah “kekejaman massal,” yakni sebuah istilah yang mencakup genosida, pembersihan etnis, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang dan yang telah menjadi acuan dalam komunitas kebijakan. Kekejaman massal paling sering terjadi dalam konteks konflik bersenjata, terutama perang sipil. Peristiwa kekerasan yang beraneka ragam bentuknya dan terjadi di dunia internasional saat ini ditandai oleh berbagai pola baru yang membedakan mereka dari kekerasan sebelumnya, Kekerasan kontemporer yang terjadi sering kali didasari oleh berbagai konflik jangka panjang yang belum menemui titik temu dan mayoritas pembunuhan mulai terjadi sejak Perang Dunia Kedua bagian dari perang saudara dan konflik etnis.
Dari sini mulai timbul pertanyaan seperti sampai kapan kekerasan ini akan terus terjadi? Tidak adakah suatu konsep yang dapat mencegah kekerasan yang ada di dunia internasional? Dan bagaimana reaksi komunitas internasional melihat kekerasan yang anarkis seperti ini?
Komunitas internasional sendiri, seperti melalui PBB mencoba melakukan normalisasi R2P sebagai norma dalam kaitan dengan kekejaman dan kekerasan massal, hal ini dibutuhkan terutama mengingat pandangan bahwa R2P hanya merupakan cara sejumlah negara melakukan power politics dan menjadi intervensionis. Sejak 2009, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon telah merilis laporan tahunan R2P dan menyelenggarakan dialog antar-negara tahunan antara negara-negara anggota untuk mendorong dialog dan pemahaman bersama tentang R2P sebagai norma untuk menanggapi kejahatan kekejaman massal baik di berbagai negara, baik dengan kekejaman massal yang berasal dari eksternal maupun yang berasal dari internal negara.
Pekerjaan tersebut memfasilitasi, sebagian besar, reorientasi konseptual R2P mencoba menjauh dari citranya sebagai pembenaran bagi kekuatan besar untuk campur tangan di negara-negara lemah yang selama ini dikritiknya. Melainkan Sekjen PBB telah berusaha untuk menekankan aspek pencegahan R2P, dan menempatkan tugas (onus) tertentu pada negara bagian untuk memperbaiki tanggapan domestik mereka terhadap ancaman kejahatan yang kejam.
R2P atau RtoP (The Responsibility to Protect) sendiri adalah komitmen politik global yang yang disahkan oleh semua negara anggota PBB pada KTT Dunia 2005 dalam rangka mengatasi empat keprihatinan utama untuk mencegah genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Lalu apa tujuan dari adanya R2P sendiri?, Melansir laman resmi PBB tujuan dari R2P adalah mewujudkan komitmen politik guna mengakhiri bentuk-bentuk kekerasan dan penganiayaan.
Dalam Paragraf 138 dari Dokumen World Summit Outcome PBB 2005 dihasilkan dari pertemuan negara-negara dalam sidang KTT 2005 berisi menugaskan tanggung jawab negara untuk mencegah dan melindungi penduduknya dari empat kejahatan kekejaman (atrocity crime): yakni genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang sekarang disebut sebagai “Pilar Satu” tanggung jawab negara. Adapun R2P tidak hanya memiliki satu pilar melainkan tiga pilar yaitu :
Pilar I: Tanggung jawab perlindungan negara – “Setiap negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi penduduknya dari genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan”
Pilar II: Bantuan internasional dan pengembangan kapasitas – Negara berjanji untuk saling membantu dalam tanggung jawab perlindungan mereka
Pilar III: Respons kolektif yang tepat waktu dan tegas – Jika ada negara yang “secara nyata gagal” dalam tanggung jawab perlindungannya, maka negara harus mengambil tindakan kolektif untuk melindungi penduduk.
Konsep R2P mulai ada sejak tahun 1990, konsep ini sendiri lahir dari kegagalan masyarakat Internasional pada saat itu untuk mengatasi berbagai tragedi yang terjadi seperti, genosida Rwanda pada tahun 1994 dan genosida Srebrenica pada tahun 1995. Kemudian pada tahun 2000 Uni Afrika mengusulkan Hak untuk campur tangan, campur tangan yang dilakukan oleh UA dalamhal ini berupa memasukkan hak untuk campur tangan di negara anggota, sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Konstitutifnya, yang menyatakan “hak Uni untuk campur tangan di Negara Anggota sesuai dengan keputusan Majelis sehubungan dengan keadaan-keadaan berat, yaitu kejahatan perang, genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan”. AU juga mengadopsi Konsensus Ezulwinipada tahun 2005, yang menyambut R2P sebagai alat untuk pencegahan kekejaman massal.
Pada akhirnya, kita tidak boleh membiarkan perbedaan politik dan ideologis mengalihkan perhatian kita dari cukup memperhatikan tanda-tanda peningkatan risiko, dan mengambil tindakan dini untuk mencegah terjadinya kejahatan kekejaman, yang mengakibatkan kematian yang tak terhitung jumlahnya yang dapat dicegah. Kita perlu menyadari bahwa kita memiliki tanggung jawab untuk melindungi diri kita sendiri, tetangga kita, dan komunitas internasional yang lebih luas, bukan hanya karena itu adalah kewajiban moral, dan komitmen kolektif, tetapi mungkin yang lebih penting, karena kemanusiaan kita bersama.
Penulis: Faizul Jamal (Mahasiswa semester IV jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Olitik UIN Sunan Ampel Surabaya)