Thejatim.com – Aksi tiga mahasiswa kader PMII Blitar Raya yang membentangkan poster berisi kritik terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menuai sorotan tajam, bukan hanya dari aparat, tapi juga dari Wali Kota Blitar, Syauqul Muhibbin.
Dia menyatakan merasa malu sebagai mantan aktivis melihat cara mahasiswa menyampaikan aspirasi yang dinilainya “tidak elegan”. Pernyataan ini pun justru memunculkan pertanyaan.
Ketua PC PMII Blitar, Muhammad Thoha Ma’ruf menyampaikan pertanyaan balik atas narasi yang disampaikan oleh Wali Kota Blitar Syauqul Muhibbin terhadap aksi yang dilakukan oleh mahasiswa.
“Siapa sebenarnya yang tak beradab, mahasiswa yang menyuarakan keresahan rakyat, atau pejabat yang tersinggung oleh kritik?” katanya, Sabtu, 21 Juni 2025.
Poster-poster yang dibentangkan mahasiswa, para kader – kader PMII tersebut antara lain seperti “Omon-omon 19 Juta Lapangan Kerja”, “Siapa Percaya Pengangkang Konstitusi”, hingga “Dinasti Tiada Henti”
Thoha menyebut, keberadaan poster tersebut adalah ekspresi frustrasi terhadap janji politik yang tak kunjung terealisasi dan praktik kekuasaan yang dinilai melanggar demokrasi.
“Bukankah dalam negara demokrasi, kritik seperti ini seharusnya dihargai, bukan malah direndahkan?” ujarnya.
Dirinya juga mempertanyakan, di mana ruang yang benar-benar bebas bagi rakyat menyampaikan pendapat jika aksi damai seperti ini saja dianggap memalukan?
“Tidakkah pernyataan wali kota ini mencerminkan kegagapan pejabat dalam menghadapi kebebasan berekspresi?” tambahnya.
Secara konstitusional, tindakan mahasiswa tersebut dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Negara justru wajib melindungi mereka, bukan mempermalukannya di ruang publik. Kritik adalah bagian dari sistem demokrasi bukan malah gangguan terhadapnya.
Yang lebih ironis, wali kota justru menekankan bahwa dirinya telah bersusah payah mengundang Wapres ke Blitar dan mengajukan proposal ratusan miliar rupiah untuk pembangunan daerah.
Seolah-olah proyek pembangunan menjadi alasan untuk mengesampingkan aspirasi rakyat. Apakah demokrasi boleh dibungkam demi aliran dana pusat? Apakah kritik harus dikorbankan demi proposal pembangunan?
Fakta di lapangan yang lain menunjukkan bahwa ketiga mahasiswa tersebut diringkus oleh Paspampres, poster mereka disita, dan mereka dibawa ke lokasi makan dalam tekanan.
“Yang dibutuhkan adalah ruang jujur untuk menyampaikan suara. Intimidasi dibalut jamuan bukanlah cara membina demokrasi namun justru cara halus membungkamnya,” ungkapnya.
Kejadian ini memperlihatkan bahwa kritik terhadap kekuasaan masih menjadi hal yang ditakuti di negeri ini. Apalagi jika kritik itu menyentuh topik sensitif seperti dinasti politik ataupun pelanggaran konstitusi, serta janji kampanye palsu.
Padahal, keberanian mahasiswa para kader PMII ini berdiri di tengah arus kekuasaan adalah bukti bahwa nurani rakyat belum sepenuhnya mati.
Sebagai pemimpin daerah, seharusnya Wali Kota tidak mempermalukan mahasiswa, tapi justru melindungi hak mereka untuk menyuarakan keresahan rakyat. Kritik bukan aib, melainkan wujud nyata hidupnya demokrasi.
Yang memalukan bukan suara yang lantang, tapi ketakutan para pejabat mendengarnya. Mengorbankan demokrasi demi proposal anggaran hanyalah bentuk politik transaksional yang berbahaya.